Skip to main content

Cerpen: 'Qurban Terakhir'


Qurban Terakhir (Affa, Oktober 2016)

            Delapan tahun silam adalah tahun pertama aku nyantri. Melanglang buana dengan tujuan pasti. Memberikanku milyaran bekal yang tertanam didasar lubuk hatiku sampai timbul menyebar luas. Hingga cinta sedikit mengorekku, menyeretku dengan suka ria menjelajah negri eropa. Lepas dari itu, kepekikan sesekali menghantuiku. Ya, aroma pekik kematian tentunya. Dimana hal yang tak terduga itu, datangnya memang tiba-tiba. Nyata!. Delapan tahun silam.
Sabtu, 11 September 2007
“Ka, Hari raya besok kau pulang nggak?”. Tanya ku pada Raka. Bocah bersarung hijau kukus kotak-kotak itu terlihat lesu, menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku menghela nafas.
“Oh, tenang saja Ka. Kau mau ikut aku pulang?”. Ajak ku dengan riang. Mendengar tawaran itu, Raka menoleh, menyerngitkan kedua alisnya. Aku mengangguk. Lantas ia bangkit “Beneran Mas?”. Sontaknya. Aku menganggukkan kepala. Raka tersenyum senang.
Ahad, 12 September 2007.
            Tak seperti Hari Qurban biasanya. Tahun ini aku berada di pesantren yang jaraknya jauh dari tanah kelahiranku. Kali ini, untuk menikmati semarak ramainya kampung salak aku harus menempuh perjalanan berjam-jam. Kali ini, untuk melihat Bapak menyembelih sapi aku harus mengeluarkan ongkos puluhan ribu. Kali ini pula, untuk menikmati masakan khas Qurban milik Ibu aku harus pulang. Ah, memang  kata “pulang” selalu memberi sensasi kebahagiaan tersendiri bagi santri, pun bagiku.
            Pagi ini, semburat ceria sangat jelas terlihat dari tiap-tiap wajah. Setelah pengajian Al-Quran Ba’da Subuh tadi, kebanyakan santri bergegas mempersiapkan dirinya untuk sekolah, menata pakaian, merapikan almari, sekaligus menyeleksi mana kiranya pakaian yang akan dibawanya pulang. Aku menuruni anak tangga lantai dua, dengan seragam Putih-Biru lengkap bersama songkok dan sabuknya. Sengaja aku turun lebih awal agar aku bisa melihat pengumuman di mading lantai bawah lebih dulu. Karena jika tidak, atau terlambat sedetik saja, maka akan mustahil bagi anak sekecilku melihat pengumuman itu, karena saking ramainya.
            Selepas itu, sambil duduk di emperan lantai bawah, aku memasang satu persatu kaus kaki sekalian menungu Raka. Terakhir aku meliatnya dimasjid tadi, waktu mengaji. Setelah itu, di kamarpun aku belum melihat pipi tembemnya.
“Kang Budi..!!”. Teriakku pada santri lama yang akrab denganku itu. Ia mendekat, duduk disampingku. “Ada apa Dimas?”. Ungkapnya dengan nada pelan, halus, teduh, dan penuh wibawa.
“Kang Budi lihat Raka ndak?”.
“Raka.... yang satu kamar sama kamu?”
“Nggeh Kang”
”Barusan aku lihat dia di masjid, mungkin lagi nderes Mas”. Ungkap Pria tegap berkaos putih lengan panjang itu. “Ooo, terimakasih Kang”. Segera aku menjabat tangannya. Memasang sepatu hitam yang baru dibelikan bapak dipasar. Lalu Bergegas berangkat kesekolah sekalian menengok Raka di Masjid.
            Letak masjid yang bersebelahan dengan sekolah itu sangat besar. Dengan cat putih yang merata, membuat auranya begitu tenang. Kaca masjid yang bening membuat pandangan ku jelas melihat Raka. Bocah berambut pirang itu masih duduk tenang di dalam sambil menundukkan kepalanya. Ah, aku semakin heran dengan Raka. Tak seperti biasanya dia seperti ini. Kemarin juga begitu. Saat pengajian subuh berlangsung, waktu giliran dia yang baca, dia menundukkan kepala, membaca dengan penuh kesungguhan, lantang, khusyuk, membuat siapa-siapa yang mendengar melongo, getar hatinya.
Sampai pada ayat yang berbunyi  
 Dia menangis, kembali membaca, lantas nangis lagi, sesenggukan. Aku yang berada tepat di sebelahnya tak kuasa mencegah air mata ini keluar. Dengan hati gemetar ditambah dengan perasaan heran yang urung untuk diungkapkan, ku hela nafas dalam-dalam. Perlahan ku lanjutkan langkah menuju gedung berlantai tiga bercat hijau kukus yang tinggal beberapa langkah lagi, sekolahku.
Pukul 06.15. Aku selalu berusaha berangkat lebih awal dibanding teman lainnya. Karena aku ingin melalukan sesuatu yang jarang dilakukan murid lainnya. Membersihkan ruang kelas. Bisanya aku bersama Raka. Dia pula yang memberi aku semangat untuk melakukan hal ini. Katanya “Mas, dawuh Mbah Yai, sopo sing ngladeni mbesok bakal diladeni. Murid sing ora pinter tapi khidmah luwih tak senengi ketimbang murid sing pinter tapi ora khidmah”. Itulah yang selalu membuat aku semangat terus.
Ukuran ruang kelas ku cukup lebar, dengan tembok ber cat putih berhiaskan gantungan foto para pahlawan dan presiden. Juga vas bunga yang bertanamkan mawar merah segar tersemat di meja guru depan. Lantai putih yang bersih. Jendela bening mengkilat. Ditambah dengan aroma wangi yang selalu tersebar melalui tiupan kipas angin.  
Pukul 06.30. satu persatu temanku berdatangan. Wajah ceria mereka selalu memberikan kebahagiaan tersendiri. Hingga tepat pukul 07.00 lengkap semua bangku terisi penuh, kecuali Si Raka. Aku bangkit, menutup pintu. Dan kembali bercerita dengan teman lainnya. Namun belum sempuna pantat ini menapaki kursi, tiba-tiba daun pintu terbuka begitu keras “BRUAAKK!!” membuat masing-masing dari kami terkejut, serempak mengarahkan pandangan kearah pintu. Dan ternyata itu adalah Pak Tono.
Begitu Pak Tono mulai melangkah masuk, saat itu pula kami bergegas merapikan pakaian dan memperbaiki posisi duduk. “Hari ini sekolah pulang pagi Besok kalian libur. Jadi, sepulang sekolah Insyaallah kalian sudah diperbolehkan pulang!”. Jelas Pak Tono dengan suara tegas, lantang dan tanpa sepasi. Ruang kelas yang sebelumnya sunyi, karena kedatangan Pak Tono yang tiba-tiba itu selalu membawa aura menakutkan, menjadi cerah gemerlap. Sorak senang bersahutan. Riuh gemuruh meledak. Semuanya senang, tertawa lepas. Ah, tapi mata ini masih sempat melirik tempat duduk Raka yang masih kosong. “Kemana? Sedang apa? Sakit kah?”. Hati ku terus bertanya-tanya. Tapi belaian angin dan tarian daun mangga yang terlihat jelas dari jendela lebar kelasku tak menjawab. Hanya menari saja. Sementara itu, Pak Tono langsung keluar kelas setelah mengucapkan salam. Ku hela nafas dalam-dalam, ku tundukkan kepala.
            Sepulang sekolah,  halaman pesantrenku yang luas sudah penuh dengan kendaraan mewah. Berjajar rapih, lengkap dengan para orang tua yang menanti kedatangan anaknya. Ku hela nafasku dalam-dalam ditengah teriknya sinar mentari ini. Segera ku percepat langkah menuju kamar. Menapaki tanah yang bersua dengan guguran daun kering.
            “Dimaaaas!!!”. Suara itu segera menghentikan langkahku. “Dimaas!”.  Ternyata itu suara Raka. Aku menoleh. Ia berlari menuju kearahku. Aku menghela nafas lega.
“Ada apa Ka? Kamu sudah siap-siap kan?”. Tanyaku, saat ia masih tersenggal-senggal nafasnya.
“Anu Mas, aku minta maaf....., ndak bisa ikut kamu pulang”. Ucapnya sedikit lemas. Dengan nafas yang masih terengah-engah, kedua tangannya memegang pundakku, menatapku dalam-dalam.
“Kenapa Ka? Kamu sakit Ka? Wajahmu kok pucat? Kamu sakit?”. Ucapku sambil memegangi keningnya. Bocah imut berambut ikal itu memang terliat letih, seperti orang sakit. Sesekali pandangannya tak jelas mengarah kemana.
“Ndak Mas, aku sehat gini kok dibilang sakit”. Ucapnya ngotot sambil mengacungkan tangannya bak Chris Jhon. Aku tertawa tipis. “Lantas?”. Terusku.
“Aku harus pulang Mas, maaf ndak bisa ikut kamu pulang. Aku sudah ditunggu, aku harus pulang”. Jelasnya. Aku menghela nafas lega. Bak angin yang berhembus lepas di hamalan ini. Sejuk, menyerobot hingga masuk ke sela-sela baju seragam putih yang ketat ini. Ah, setidaknya Raka akan lebih senang jika ia pulang. Memang, kata “pulang” selalu memberi sensasi tersendiri bagi kami, santri.
“Tapi kamu jangan lupa nyritain serunya Qurban dirumahmu lo Mas!!”. Pungkas nya. Ia tertawa kecil. Lantas pergi.
Senin, 13 September 2016.
            Sejak aku sampai di rumah beberapa jam yang lalu hingga sekarang, Ucapan Raka masih keras terdengar ditelingaku. Seakan apa yang ia katakan tentang “pulang” bukan hanya sekedar pulang. Perilaku Bocah periang itu juga, tak seperti biasanya. Ia lebih sering menyendiri, kadang kala tiba-tiba nangis sendiri. Baca Al-Qur’an juga sering nangis. Jarang bergurau. Ah, entahlah. Jadi teringat Status Facebook kakak beberapa bulan lalu, “Bahwa kita memang harus pulang. Pulang kembali menjadi manusia yang punya hati nurani. Dimana kebaikan bukan lagi ajaran dan tuntutan. Melainkan tindakan dalam setiap langkah kita”.
Ku lemparkan tubuh ini dengan lepas diatas kasur empuk berwarna hitam polos bergambar gajah. Ku hela nafas dalam-dalam. Memandang kosong langit-langit kamarku.  “Mungkin Bocah asal Sumatra itu kelingan orang tuanya”. Kataku dalam hati. “Atau, ini adalah suatu pertanda?”. Ah, entahlah. Ku lirik jam dinding kuno pemberian kakek yang berbahan dasar kayu, parasnya mulai pucat, jarumnya tepat menunjuk angka 9. Sudah larut malam. Berusaha kupejamkan mata, menghilangkan keabsurdan yang mengiangiku beberapa hari ini.
“DIMAAAASSS!! DIMAASSS!!! Kemari Nak!”. Aku tersentak. Tak pernah Ibu memanggilku larut malam begini. Bergegas aku menemui ibu. “Nak, ini lo, ibu dapat telefon dari kakaknya Raka. Katanya Raka ndak ada Nak..”. Ucap ibuku perlahan. Aku sedikit heran. Ndak ada?. “Raka meninggal Nak. Keluarganya dalam perjalanan menuju pondok”. Lanjut wanita yang duduk di kursi kayu sambil memegang Hp. Aku hanya diam, mematung di depannya. Menatap kosong ruang tengah yang gelap sebagian sisinya. Raka meninggal? Apa ini mimpi? Lantas siapa yang akan mengajakku bersih-bersih tiap pagi? Siapa lagi yang akan ku tampar pipi tembemnya? Siapa lagi yang berani menarik hidungku sampai aku terjatuh? Aku belum bercerita tentang Qurban dirumahku padanya. Aku  belum, AAArgHHHHHHH!!!. Aku tak lagi punya bahasa. Aku kehabisan kata-kata. RAKA.
Rintikan hujan yang turun dari langit tanpa senja sore ini membuatku semakin tertunduk. Rintikan hujan beradu dengan air mata. Sesekali guguran daun kamboja mengayun lambat. Medesiskan do’a untuk Raka. Ku seka air mataku. Mengusap nisan putih yang tertanam rapih diujung tanah bertabur bunga. Aku menghela nafas sedalam-dalamnya. Bersama hujan yang beberapa detik lalu mulai reda.
Hingga tumpukan kisah itu
Berserakan
Menjadi satu bersama
Kehidupan
Selanjutnya.

           


Comments

Popular posts from this blog

HUKUM MEMPERINGATI PERAYAAN MAULID NABI SAW

Syi'iran Maulud Nabi Dari KH.M.Djamaluddin Ahmad (Jombang) HUKUM MEMPERINGATI PERAYAAN MAULID NABI SAW Peringatan ( kelahiran nabi ) yang lebih populer dengan ‘’ maulidan ’’ merupakan sebuah tradisi, sekaligus memiliki makna yang mendalam. Sejak dulu, kaum muslimin  telah melakukan peringatan mauled Nabi Saw. Sedangkan, orang yang  pertama kali melaksanakan ‘’Maulidan’’ adalah Rosulullah Saw. Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadis Imam Muslim. Namun, sebagian orang masih menganggab bahwa peringatan mauled Nabi Saw merupakan perbuatan bid’ah, dengan alasan bahwa Nabi Saw tidak pernah mengajarkan. Dalam sebuah hadis, Nabi Saw memiliki kebiasaan puasa sunnah senin dan kamis. Ternyata, puasa tersebut memiliki tujuan mulia bagi Nabi Saw, yaitu sebagai bentuk rasa syukur atas kelahirannya. Hal ini terungkap saat salah satu sahabat menanyakan kebiasaan Nabi Saw berpuasa pada hari senin. عن أبي قتادة ، أن أعرابيا قال : يا رسول الله ما تقول في صوم يوم الإثنين ؟ فقال : « ذاك يوم و...

Karakteristik Ajaran Islam

KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM MAKALAH Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Ilmu Pengantar Islam Dosen Pengampu: Moh. Dliya’ul Chaq. M. HI. Oleh: 1.       Muhammad Zulfi Fanani 2.       Hasbullah 3.       Muhammad Afwan Imamul Muttaqin 4.       Lugina M Ramdan 5.       Muhammad Irham Mabruri INSTITUT AGAMA ISLAM BANI FATTAH (IAIBAFA)  TAMBAKBERAS JOMBANG 2017 BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Setiap agama mempunyai karakteristik ajaran yang membedakan dari agama-agama lain. Agama yang didakwahkan secara sungguh-sungguh diharapkan dapat menyelematkan dunia yang terpecah-pecah dalam berbagai bagian-bagian. Perpecahan saling mengintai dan berbagai krisis yang belum diketahui bagaimana cara mengatasinya. Tidak mudah m...

'Mbeling'

Ba'da hataman ngaji kilatan. Ramadhan 1439H Mbeling (Bapak Muhammad Zulianto) Tidak selalu dunia-nya santri lurus dan tenang-tenang saja. Bahkan dibanyak waktu, kelokan tajam dan lubang jalan terjal nyantri kerap menguji. Ada saja masalahnya. Mulai ekonomi sampai "mbolos" ngaji. Dari belajar nakal sampai rambut dipetal. Dari nggandol makan di warung sampai nggandol truck di jalanan. Hingga terkena "candu" warung kopi sampai soal asmara antar asrama. Atau bahkan sampai tidak naik kelas. "Mbeling" adalah istilah yang memiliki banyak arti dan sudah membumi di kalangan santri. Apalagi bagi santri yang memang "mbeling". Rasanya memang tidak lengkap jika nyantri hanya melulu lurus mengaji, nderes, setoran dan wetonan. Sekali-kali harus (pernah) mbeling. Ibarat masakan, mbeling adalah bumbu penyedapnya. Dan penyedap tak perlu banyak-banyak. Asal takaranya terukur dan ada resep yang mengarahkan.             Gus Dur ...