Skip to main content

CERPEN: 'Merangkai Rindu'



Merangkai Rindu

Lembar langit  seakan menerkamku. Hitam legam membentang tanpa titik-titik bintang. Sergap angin malam kerap kali berdesakan dengan daun cemara di teras rumah. Pendar lampu halaman sesekali redup. Seredup kenangan yang kusekap rapat-rapat dalam manah tersunyi.

            Aku bangkit, kemudian melangkah menapaki selaras tanah diteras rumah setelah sekian menit termangu. Kubuang pandangan ke segala arah, terlihat bangku terjulur memanjang dibawah rimbun cemara, tampak kesepian. Sejak ke pergian Bapak 18 tahun lalu, ragaku mudah sekali hanyut. Jika saja aku hidup dilautan, maka entah akan terpelanting kemana raga ini.

“Naufaaal? Sedang apa kamu, Nak?”. Rupanya ibu memanggilku. Ku lirik jam tangan rolex berparas metalik yang melekat ditanganku. Benar saja, sudah tengah malam. Aku menghela nafas dalam-dalam. Sekedar membuang penat yang menempel di kerongkongan.

“Nak?”.
“Iya, Bu..”. Jawabku seadanya. Ibu hanya mematung ditepian pintu dengan sorot mata mengiba.
“Ibu belum tidur?”. Tanyaku. Ibu sedikit terhenyak. Rupanya pertanyaanku menyinggung hatinya.
“Ibu rindu Bapakmu, Nak”. Mata sucinya mulai sembab. “Entah kenapa, Ibu masih saja ingat kebersamaan kita dengan Bapakmu itu”. Sejenak aku termangu. Kita sama-sama rindu Bu’. Bisikku dalam hati,

Aku menghela nafas lamat-lamat. kemudian mendekapnya rapat-rapat.
“Bu, biarkan Bapak tenang, Bu’. Naufal yakin, bapak sangat bangga melihat ibu. Apalagi dek Shafa hafidhah, itu anugrah terbesar yang diberikan Allah buat Bapak dan Ibu. Naufal akan selalu bersama ibu. Menjaga ibu”. Ibu menyeka air matanya. Sesenggukan.
Buk, biarkan berisik rindu menghiburmu. Menari manja dengan ria menemanimu.
           
Aku tak bisa membayangkan seberapa besar rasa rindu yang ibu miliki. Bapak meninggal waktu aku masih kelas 6 SD. Entah, aku terlalu lugu menyoal sebab kematian Bapak. Waktu itu, siang yang gerah. Pulang sekolah aku berjalan menuju rumah seperti biasanya. Antara rumah dan sekolah terlampau 20-an rumah. Masih terbilang dekat. Meski ukuran rumah dikampungku mungil, tapi halamannya seluas mesjid.

            Sesampaiku didepan rumah, aku sedikit terhenyak. Ramai sekali rumahku? tanyaku dalam hati. Perlahan aku melanjutkan langkah. Selangkah-dua langkah rupanya aroma kesedihan telah menyergapku. Bendera kuning? Mataku sempat terpaku melehat kibar bendera yang terpasang tepat diteras depan rumah. Mirip sekali dengan tetangga sebelah 1 minggu lalu. Tapi ini lebih dari kesedihan. Ada apa?

            Langkahku goyah. Ku hela nafas dalam-dalam. Mak Sih, tetangga sebelah berjalan mendekatiku. ku lirik tangan kanannya, kosong. Biasanya, kalau aku pulang sekolah dia membawakan segenggam permen buatku. Tapi apa-apaan ini? Mata sembab dada sesenggukan. Mak Sih memelukku erat erat.
Sing... sa... sabar nggeh lee..”. Ucapnya terbata-bata.
“Ada apa to Mak?”. Tanyaku heran.
Terlihat Mak Sih memejamkan mata. Seakan tak kuasa merangkai kalimatyna.
“Bapakmu, sedo Le...”.
Bapak?!
Aku hanya bisa mengumpat dalam hati. Pandanganku kabur. Air mataku berhambur. Kalimat yang Mak Sih ucapkan teramat singkat jika harus membuatku tersungkur. Tapi entah. Ragaku terlalu payah jika harus tegar. Hatiku teramat rapuh jika harus bertahan.
Bapaaak?!
            Kakiku goyah. Sial! Aku ingin berlari menghampiri Bapak tapi tak bisa.
Bapaaak!
            Langit serasa menimpaku, menghimpit dada dan seluruh tubuhku. Berat sekali. 
Bapaaaak!!
##__________##


“Maas. Mas kenapa?”.
Aku mengerjap. Sedikit tersentak.

“Mas harus istirahat”. Rayu gemulai istriku serasa geli. Menjadikanku sadar dari lamunanku ditepian jendela kayu kamar kami.

“Iya dek”. Aku tersenyum. Dibalasnya senyumku. Sungguh kenikmatan yang tak tertahankan. Perjuangan merangkai rindu teramat berat sejak kepergian Ibu’ 3 bulan lalu. Bersama Dyah, istriku, aku bisa merangkai semuanya. Merajut mimpi-mimpi kecil yang tergerai sembarangan dipelataran rumah lengkap dengan sejuta kenangannya.

“Terimakasih, Dek”. “Sama-sama, Mas”.

Ah rindu,
Aku rindu Bapak, Ibu’.
Affa Esens, 14 Januari 2018
















Comments

Popular posts from this blog

HUKUM MEMPERINGATI PERAYAAN MAULID NABI SAW

Syi'iran Maulud Nabi Dari KH.M.Djamaluddin Ahmad (Jombang) HUKUM MEMPERINGATI PERAYAAN MAULID NABI SAW Peringatan ( kelahiran nabi ) yang lebih populer dengan ‘’ maulidan ’’ merupakan sebuah tradisi, sekaligus memiliki makna yang mendalam. Sejak dulu, kaum muslimin  telah melakukan peringatan mauled Nabi Saw. Sedangkan, orang yang  pertama kali melaksanakan ‘’Maulidan’’ adalah Rosulullah Saw. Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadis Imam Muslim. Namun, sebagian orang masih menganggab bahwa peringatan mauled Nabi Saw merupakan perbuatan bid’ah, dengan alasan bahwa Nabi Saw tidak pernah mengajarkan. Dalam sebuah hadis, Nabi Saw memiliki kebiasaan puasa sunnah senin dan kamis. Ternyata, puasa tersebut memiliki tujuan mulia bagi Nabi Saw, yaitu sebagai bentuk rasa syukur atas kelahirannya. Hal ini terungkap saat salah satu sahabat menanyakan kebiasaan Nabi Saw berpuasa pada hari senin. عن أبي قتادة ، أن أعرابيا قال : يا رسول الله ما تقول في صوم يوم الإثنين ؟ فقال : « ذاك يوم و...

Karakteristik Ajaran Islam

KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM MAKALAH Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Ilmu Pengantar Islam Dosen Pengampu: Moh. Dliya’ul Chaq. M. HI. Oleh: 1.       Muhammad Zulfi Fanani 2.       Hasbullah 3.       Muhammad Afwan Imamul Muttaqin 4.       Lugina M Ramdan 5.       Muhammad Irham Mabruri INSTITUT AGAMA ISLAM BANI FATTAH (IAIBAFA)  TAMBAKBERAS JOMBANG 2017 BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Setiap agama mempunyai karakteristik ajaran yang membedakan dari agama-agama lain. Agama yang didakwahkan secara sungguh-sungguh diharapkan dapat menyelematkan dunia yang terpecah-pecah dalam berbagai bagian-bagian. Perpecahan saling mengintai dan berbagai krisis yang belum diketahui bagaimana cara mengatasinya. Tidak mudah m...

'Mbeling'

Ba'da hataman ngaji kilatan. Ramadhan 1439H Mbeling (Bapak Muhammad Zulianto) Tidak selalu dunia-nya santri lurus dan tenang-tenang saja. Bahkan dibanyak waktu, kelokan tajam dan lubang jalan terjal nyantri kerap menguji. Ada saja masalahnya. Mulai ekonomi sampai "mbolos" ngaji. Dari belajar nakal sampai rambut dipetal. Dari nggandol makan di warung sampai nggandol truck di jalanan. Hingga terkena "candu" warung kopi sampai soal asmara antar asrama. Atau bahkan sampai tidak naik kelas. "Mbeling" adalah istilah yang memiliki banyak arti dan sudah membumi di kalangan santri. Apalagi bagi santri yang memang "mbeling". Rasanya memang tidak lengkap jika nyantri hanya melulu lurus mengaji, nderes, setoran dan wetonan. Sekali-kali harus (pernah) mbeling. Ibarat masakan, mbeling adalah bumbu penyedapnya. Dan penyedap tak perlu banyak-banyak. Asal takaranya terukur dan ada resep yang mengarahkan.             Gus Dur ...