Skip to main content

CERPEN: 'Kau, Aku dan Serumpun Detik Itu'




Kau, Aku dan Serumpun Detik Itu 
(@affa_esens, 28 April 2018)

Sepoi jamuan musik terdengar sayup. Bergantian dengan rintik hujan, juga lengkingan detik, terdengar syahdu. 
“Maaf, aku harus pergi”. Ungkapnya.
Aku tersedak mendengar kalimat itu. “Tapi, bagaimana dengan rumpun hari yang sudah kita nanti?”. Desakku menghadang langkahnya.
“Sudah, biar liur langit membuat kita hanyut, lalu berfikir seribu kali untuk bisa bersama kembali”.
Rangkai kata yang ia ucapkan membuatku termenung. Ku tatap matanya, indah. Lalu rambut rapihnya, pesona. Wajahnya, ah. Makhluk mana yang tak tertarik setelah memandangnya. “Tidak! Bukan ini yang aku cari” Desahku.
Kakinya berdecak, bergantian. Seirama dengan iringan musik, rintik hujan dan lengking detik yang menggiurkan. Tetap erat kugenggam lengannya.
“Aku harus pergi, Rey!”. Pintanya. Lalu mengendus kesal. Berhembusan. Tangannya terasa kaku, wajahnya memerah.
“Luna, dengarkan. Aku tau kau marah soal tadi. Tapi tinggal menunggu hari, Luna. Dinginkan hatimu, tenangkan fikiranmu”. Desakku. Luna terdiam, menelan ludah.
“Duduk...”. Perlahan kutarik lengannya. Tubuhnya bergeser, lalu duduk berhadapan denganku.
Beberapa detik lalu iringan musik berhenti. Rintik hujan juga. Tapi tidak dengan detik. Lengkingnya selalu seirama, beriringan dengan menitnya, jamnya. Diujung cafe, terlihat beberapa  pegawai mengusap keringatnya. Satu-dua orang melucuti atributnya. Kulirik jam tangan di lengan kiriku. Pukul 21.50, 10 menit lagi cafe ini akan tutup.
“Luna, kita ini sudah dewasa. 3 hari lagi kita akan............”.
“Ya! Bener, Rey! 3 hari lagi kita akan menikah kan? Kata siapa kemaren nikahnya!”. Belum selesai aku bicara, wanita pencemburu ini sudah memangkas perkataanku.
Aku tersenyum kecil, sedikit kikuk. Sadar bahwa saat ini juga aku dan luna jadi pusat perhatian. Terhimpit pandangan dari segala arah.
            Sementara, sayup angin malam memberatkan mataku. Tapi entah, mata luna terlihat tegar. Hempas-tarikan nafasnya berdesakan.
“Luna, beri aku sedikit waktu untuk menjelaskan. Please..”. Pintaku meyakinkan.
Tapi nihil. Mulut manis yang luna punya melikukkan senyum sinis. Bersamaan dengan endusan kesalnya.
Aku berusaha menguasai keadaan. “Luna, tolong...”. Pintaku sekali lagi.
“Dengar ya, Rey! Untuk saat ini, aku hanya ingin satu....”
“Apa?! Katakan, Luna” Segera kupangkas ucapannya. Berharap dengan menuruti kemauannya bisa membuat hatinya luluh.
Wanita berpakaian dress linen merah jambu berpadu biru itu tersenyum kecil. Menghela nafas lamat-lamat. Lalu berata, “Rey, tadikan sudah aku bilang, AKU INGIN PERGI!”. Tatap matanya tajam. Lalu ia beranjak. Aku termangu sejenak, dan mengejarnya.
“ Luna!” segera kucepatkan langkah.                                                      
“Luna! Tunggu!”. Ia tak kunjung menoleh. Derai rambutnya mengayun. Seolah berkata ‘aku tak mau’
Aku mengendus kesal. Hampir putus asa. Kupandangi langkah cepatnya. Berdesakan dengan lalu-lalang orang, juga silau sorot lampu kendaraan yang mengambang bersahutan dengan kepulan asap rokok milik pedagang kaki lima diujung trotoar.
Sempurna luna menghilang. Aku menyesal telah menolak ajakannya dinner. Kupikir dia akan faham dengan kesibukanku. Atau karena aku memang egois?
“Haaahh!! Entahlah!”.

###

“Rey!?”
Aku terhenyak. Nada panggilan itu akrab sekali, pun suaranya. Jantungku berdegub, berlomba dengan detik, menggebu. Aliran darah semakin deras, layaknya hujan beberapa jam lalu, saat perbincangan pedekku dengan Luna di cafe.
‘Tapi, suara ini? Bukankah Luna sudah pergi? Dan aku melihatnya tadi’. Hembus nafasku memberat. Aku tersentak setelah pundakku ditepuknya. Spontan aku menoleh.
“Luna?!”. Betapa terkejutnya diriku saat mendapati wanita yang mengenakan dress linen merah jambu berpadu biru itu melempar senyum manis kepadaku. Kupalingkan padangan seperti semula.
“Ngapain kamu, Rey? Kok seperti kebingungan gitu”. Tanya Luna.  
Aku sedikit linglung. Hampir tengah malam begini sudah dibuat beku dengan kejadian aneh. Kupandangi sekitar, sepi. Beberapa PKL sudah angkat gerobak. Bising kenalpot tersekap desir angin malam. Berhembus, bergantian dengan desah nafasku yang dalam.
“Rey!” Getak Luna. Aku menoleh, membalikkan badan. Dan lagi-lagi dengan senyum ramah yang membuatku lemah. Kulum bibirnya mengembang. Sorot matanya tajam mempesona. Haah, kuhela nafas lamat-lamat.
“Lu...Luna. Bukannya... kamu tadi....,”. Ucapku patah-patah.
“Apa, Rey? Aku tadi marah, pergi, lalu kembali ya? Hehehe”. Jawabnya cengar-cengir.
“Maksudmu?” Tanyaku heran.
Luna mendekat. Meraih tanganku dan mendekapnya lamat-lamat sejajar dengan dagunya.
“Reey, aku tau kamu sibuk. Aku juga faham kalau kamu itu cinta sama aku. Tapi aku hanya ingin kamu ngerti, Rey. Sesibuk apapun kamu nanti, jangan lupakan keluargamu. Aku nggak mau pernikahan kita sia-sia hanya karena kamu lupa sama keluarga, istrimu, anak-anak kita nanti”. Terang Luna dengan sorot mata berbinar.
Kubalas tatapannya. Luna tersenyum. Mengecup tanganku yang digenggamnya. Kuhela nafas lamat-lamat. “Maafkan aku, Luna”. Jawabku.
Aku trenyuh, meski tak tau bagaimana Luna bisa berada dibelakangku. Binar matanya semakin merona. Bersamaan dengan derai air mata yang menggenang dan berjatuhan menyapu lesung pipinya. Sedang detik terus berlalu. Mengabadikan kisah tanpa malu. Kudekap tubuhnya. Berusaha memurnikan kembali hatinya yang sembab.
“Kau, aku dan serumpun detik itu”. Bisikku.



Comments

Popular posts from this blog

HUKUM MEMPERINGATI PERAYAAN MAULID NABI SAW

Syi'iran Maulud Nabi Dari KH.M.Djamaluddin Ahmad (Jombang) HUKUM MEMPERINGATI PERAYAAN MAULID NABI SAW Peringatan ( kelahiran nabi ) yang lebih populer dengan ‘’ maulidan ’’ merupakan sebuah tradisi, sekaligus memiliki makna yang mendalam. Sejak dulu, kaum muslimin  telah melakukan peringatan mauled Nabi Saw. Sedangkan, orang yang  pertama kali melaksanakan ‘’Maulidan’’ adalah Rosulullah Saw. Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadis Imam Muslim. Namun, sebagian orang masih menganggab bahwa peringatan mauled Nabi Saw merupakan perbuatan bid’ah, dengan alasan bahwa Nabi Saw tidak pernah mengajarkan. Dalam sebuah hadis, Nabi Saw memiliki kebiasaan puasa sunnah senin dan kamis. Ternyata, puasa tersebut memiliki tujuan mulia bagi Nabi Saw, yaitu sebagai bentuk rasa syukur atas kelahirannya. Hal ini terungkap saat salah satu sahabat menanyakan kebiasaan Nabi Saw berpuasa pada hari senin. عن أبي قتادة ، أن أعرابيا قال : يا رسول الله ما تقول في صوم يوم الإثنين ؟ فقال : « ذاك يوم و...

Karakteristik Ajaran Islam

KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM MAKALAH Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Ilmu Pengantar Islam Dosen Pengampu: Moh. Dliya’ul Chaq. M. HI. Oleh: 1.       Muhammad Zulfi Fanani 2.       Hasbullah 3.       Muhammad Afwan Imamul Muttaqin 4.       Lugina M Ramdan 5.       Muhammad Irham Mabruri INSTITUT AGAMA ISLAM BANI FATTAH (IAIBAFA)  TAMBAKBERAS JOMBANG 2017 BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Setiap agama mempunyai karakteristik ajaran yang membedakan dari agama-agama lain. Agama yang didakwahkan secara sungguh-sungguh diharapkan dapat menyelematkan dunia yang terpecah-pecah dalam berbagai bagian-bagian. Perpecahan saling mengintai dan berbagai krisis yang belum diketahui bagaimana cara mengatasinya. Tidak mudah m...

'Mbeling'

Ba'da hataman ngaji kilatan. Ramadhan 1439H Mbeling (Bapak Muhammad Zulianto) Tidak selalu dunia-nya santri lurus dan tenang-tenang saja. Bahkan dibanyak waktu, kelokan tajam dan lubang jalan terjal nyantri kerap menguji. Ada saja masalahnya. Mulai ekonomi sampai "mbolos" ngaji. Dari belajar nakal sampai rambut dipetal. Dari nggandol makan di warung sampai nggandol truck di jalanan. Hingga terkena "candu" warung kopi sampai soal asmara antar asrama. Atau bahkan sampai tidak naik kelas. "Mbeling" adalah istilah yang memiliki banyak arti dan sudah membumi di kalangan santri. Apalagi bagi santri yang memang "mbeling". Rasanya memang tidak lengkap jika nyantri hanya melulu lurus mengaji, nderes, setoran dan wetonan. Sekali-kali harus (pernah) mbeling. Ibarat masakan, mbeling adalah bumbu penyedapnya. Dan penyedap tak perlu banyak-banyak. Asal takaranya terukur dan ada resep yang mengarahkan.             Gus Dur ...