Ba'da hataman ngaji kilatan. Ramadhan 1439H |
Mbeling
(Bapak Muhammad
Zulianto)
Tidak selalu dunia-nya santri lurus
dan tenang-tenang saja. Bahkan dibanyak waktu, kelokan tajam dan lubang jalan
terjal nyantri kerap menguji. Ada saja masalahnya. Mulai ekonomi sampai
"mbolos" ngaji. Dari belajar nakal sampai rambut dipetal. Dari
nggandol makan di warung sampai nggandol truck di jalanan. Hingga terkena
"candu" warung kopi sampai soal asmara antar asrama. Atau bahkan
sampai tidak naik kelas.
"Mbeling" adalah istilah
yang memiliki banyak arti dan sudah membumi di kalangan santri. Apalagi bagi
santri yang memang "mbeling". Rasanya memang tidak lengkap jika
nyantri hanya melulu lurus mengaji, nderes, setoran dan wetonan. Sekali-kali
harus (pernah) mbeling. Ibarat masakan, mbeling adalah bumbu penyedapnya. Dan
penyedap tak perlu banyak-banyak. Asal takaranya terukur dan ada resep yang
mengarahkan.
Gus Dur ketika mondok di Kiai
Khudlori Tegalrejo pernah menjadi sutradara yang "mbeling" untuk
mencuri ikan. Disuruhlah beberapa temannya untuk mengambil ikan di kolam kiai.
Sementara Gus Dur hanya mengawasi. Sampai pada waktu dinihari, kiai keluar dari
ndalem untuk menunaikan shalat malam. Maka dengan segera teman-temannya disuruh
untuk lari. Sementara ikan hasil curian dari kolam Kiai diserahkan kepada Gus
Dur.
Dengan enteng Gus Dur matur kepada
Kiai Khudlari, "Kiai, ini tadi ada pencuri yang mau mengambil ikan
Panjenengan, sekarang ikannya sudah saya amankan". Dan hasilnya, ikan
tersebut dihibahkan kepada Gus Dur yang kemudian dimakan bersama teman-temannya
yang tadi mencuri.
Mencuri ikan adalah perbuatan
"mbeling". Dan meminta halal adalah mbeling yang terarah. Meskipun
sebenarnya Pak Kiai selalu punya kadar ikhlas yang luad bak lautan terhadap apa
yang dilakukan oleh santri. Tapi, meminta maaf dan mengakui kesalahan adalah
tindakan kesatria.
Kiai Ahmad Umar Abdul Manan
Mangkuyudan punya cara asyik dalam mendidik santri mbeling. Beliau pernah
memanggil pengurus pondok untuk mendata sekaligus me-rating siapa saja
santri-santri termbeling di pondok. Mulai dari yang terbeling. Mbeling
biasa-biasa. Sampai yang mbeling abal-abal. Hasil pendataan tersebut ternyata
tidak untuk memboyongkan santri karena saking "mbeling"-nya.
Melainkan oleh beliau nama-nama santri "mbeling" itu dimunajatkan
pada doa sepertiga malamnya.
Cerita tersebut disampaikan Gus Mus
di acara salah satu pondok Quran dengan jumlah santri ribuan. Menurut pengakuan
kiai muda (pengasuh) yang mengundang beliau. Santri ter-mbeling-nya Kiai Umar
Mangkuyudan tersebut adalah dia sendiri sang pengasuh pondok. Ternyata santri
termbeling Kiai Umar sudah menjadi kiai besar di daerahnya. "Sukses santri
dilihat ketika sudah menjadi alumni". Kata Gus Dur.
Meneguk "mbeling" di tengah
Kawah Candradimuka ketika menimba ilmu itu tidak perlu banyak-banyak. Cukup
sebagai penyedapnya ketika nyantri saja. Asal terukur dan terarah. Semisal jika
sudah lelah maknai kitab kuning. Penat ngelakoni diniah dan menghafal
bait-bait. Sekali-kali pergilah ke toko kaset. Dengarkan musik-musik cadas
seperti The Beatles, Metalica, dan Scorpion.
Atau dengarkanlah aliran musik klasik
simphoninya Bethoven dan Wolfgang Mozart. Kalau bosan cobalah untuk nyamil
nonton film. Ada film adaptif novel Mario Puzo "God Father". Film
pendidikan Hellen Keller. Atau film yang sarat dengan semiotik-relegius
"The Davinci Code". Kok masih tetap sumpek, gunakanlah waktu luangmu
untuk "ngopi", futsal, bersepeda dan lari-lari. Kuliner juga bisa
pilihan baik untuk melepas kepenatan.
Jika masih tetap gelap itu tanda Anda
benar-benar kurang piknik. Dosis mbelingnya pun harus dinaikan. Saran saya
berziarahlah ke pusara masayikh, sanak dan handai tolan. Perbanyak istigfar dan
tahlil. Di pesarean yang tenang kita bisa bermuhasabah dengan kenyang tentang
kehidupan. Semoga saran ini bermanfaat. Akhirul Kalam, terkadang mbeling itu
memang perlu. (*)
#Foto hanya pemanis Sodara 🤣😆
Comments