Santri Imam Malik
*Muhammad Zulianto, S. Sy
Diantara kunci memperoleh ilmu manfaat bagi santri adalah keyakinan terhadap guru. Tapi terkadang ada saja santri yang punya persepsi bahwa Kiai A atau Kiai B sudah tidak ada barakahnya. Padahal sebenarnya kunci dari keberkahan ilmu adalah dari keikhlasan seorang santri dalam berkhidmad kepada Kiai (masa ketika ia belajar). Maka dalam hal mengabdi ada istilah "kesetnya santri".
Tentang keyakinan yang wajib dimiliki oleh santri kapda kiainya, ada sebuah bait di dalam Kitab Imrithi (bisa diplesetkan dengan dibaca "Umaryoto" kalau dibaca dalam Arab Pego) yang berbunyi :
إذا الفتى حسب اعتقاده رفع # وكل من لم يعتقد لم ينتفع
Artinya, Pemuda (santri) diangkat derajatnya berdasar kadar keyakinannya. Barangsiapa tidak memiliki keyakinan terhadap sesuatu, maka tidak bisa mengambil manfaatnya.
Ada cerita tentang salah satu santri dari Imam Malik yang sedang menghafal Quran. Santri tersebut adalah santri "kalong" (santri yang biasa berangkat dari rumah untuk mengaji, tidur di pondok dan pagi harinya kembali ke rumah). Pada mulanya santri tersebut menyetorkan hafalan Qurannya dengan aktif. Satu kali setoran bisa mencapai 3 sampai 4 halaman. Namun pada suatu ketika, semakin hari, hafalannya semakin berkurang. Dari yang 4 halaman menjadi 3 halaman, dari 3 halaman menjadi 2 halaman. Sampai pada puncaknya, santri tersebut tidak bisa setoran hafalan kepada Imam Malik.
Kemudian Imam Malik memanggil santri tersbut dan bertanya perihal apa yang menjadikannya tidak bisa aktif lagi menghafal. Rupa-rupanya, santri Imam Malik itu sedang mengidap penyakit yang bernama "Cinta". Dimulai dari suatu pagi, sepulang "ngaji" dari Imam Malik, ia matanya memandang seorang gadis yang nun cantik sehingga menggetarkan hatinya. Dilihat gadis ayu tersebut, sedang menyapu halaman rumah. Sampai wajah Sang Gadis lelap tidur di hati Sang Santri.
Mulai tumbuh di hati Santri Kalong dari Imam Malik perasaan Syauq (kangen), yang berkembang menjadi Thauq (rindu banget) kepada gadis itu. Kemudian, segala perasaan itu ia "haturkan" kepada Imam Malik Sang Guru. Imam Malik kemudian dengan bijak memberikan solusi kepada santrinya untuk melamar gadis tersebut. "Kirimkan salamku (Imam Malik) kepada calon mertuamu, bahwa aku akan menjodohkan anak gadisnya denganmu". Begitu kurang lebih dawuh Imam Malik.
Maka, dengan tekad kuat dan bekal "nderek dawuh Kiai", Santri Kalong Imam Malik pergi untuk melamar Sang Gadis pujaan hati. Walaupun dengan pakaian yang sederhana dan di tangan tanpa memegang apa-apa. Kakinya tetap melengang yakin ke hadapan calon mertua. Sialnya, orang tua sang gadis tidak serta merta simpati untuk menerima lamaran santri tersebut. Walaupun sebenarnya telah merasa terhormat mendapat salam dari Imam Malik.
Sang Calon Mertua, mengajukan syarat boleh menikahi anak gadisnya jika Sang Santri mampu memberi mahar sebesar 1.000 Dinar (1 dinar kursnya 2 juta, 1000 dinar setara dengan 2 Milyar). Hebatnya keyakinan Santri Kalong Kiai Malik adalah, walaupun Ia tidak memiliki uang se persen pun, dan karena (merasa) menjadi utusan dari Imam Malik untuk melamar Si Gadis, ia tetap meng "iya"-kan syarat yang begitu berat dari calon mertua.
Begitu keluar dari rumah calon mertuanya itu, perasaan bingung meliputinya. "Darimana saya mendapat uang 1.000 dinar?. Sementara saya mondok saja gratisan". Satu-satunya cara adalah "matur" masalah tersebut kepada kiainya yaitu Imam Malik. Maka setelah ia katakan hasil lamaranya itu, Imam Malik menyanggupi untuk memberi hutang kepada santrinya. Syaratnya, setelah satu hari di malam pertama ia menikah, dan "kumpul" (red : jimak) dengan istrinya, dia harus mencuci seluruh pakaiannya dan berpamitan untuk pergi ke Makkah. Jika bapak mertuanya bertanya untuk apa?. Maka jawabannya adalah untuk mencari pekerjaan guna melunasi hutang kepada Imam Malik.
Setelah malam pertama yang indah dengan mempraktikan gaya tendangan salto Garith Bale, tibalah ia mengamalkan nasihat dari Sang Guru untuk pergi ke Makah. Ia mengajak istrinya. Namun Sang Istri bingung karena di rumahnya hanya ada dia sendiri dan ayahnya. Sementara ibunya telah meninggal. Tidak akan ada yang melayani ayahnya seperti memasak, mencuci dan bersih-bersih rumah. Sang ayah mertua mengambil inisiatif untuk melarang menantunya. Tetapi alasan Sang Mantu untuk pergi, guna membayar hutang 1000 dinar sebagai kewajiban lebih utama daripada tinggal di rumah.
Maka pergilah Sang Mertua untuk sowan kepada Imam Malik agar beliau mau membujuk santrinya agar tidak jadi pergi ke Makah. Namun karena alasan santrinya pergi ke Makah untuk menunaikan kewajiban yaitu membayar hutang, Imam Malik menyatakan tidak bisa melarangnya.
Di akhir pembicaraan, Sang Mertua bertanya kepada Imam Malik, "sebenarnya kepada siapa menantunya itu berhutang uang sebanyak 1.000 dinar?. Imam Malik, sambil tersenyum menjawab, "menantumu itu santriku, aku lah yang memberi hutang kepadanya, kalau Kamu memilih anak gadismu dan menantumu untuk tetap tinggal di rumah maka berikan uang syarat nikah itu kepada menantumu untuk membayar hutangnya!".
Sambil berpamitan dan menggerutu, bapak mertua dari santri Imam Malik itu kemudian mengembalikan uang 1.000 dinar kepada menantunya agar digunakan untuk membayar hutang. Akhirnya Imam Malik uangnya kembali. Sementara santrinya telah beruntung tentang dua hal "bojo ke cekel, hutang ke sahur". (*)
- Disarikan dari tausiyah pelantikan pengurus Bumi Damai Al-Muhibbin dan Peringatan Nuzulul Quran.
- Foto by Afwan
Comments