Kau, Aku dan Serumpun Detik Itu (@affa_esens, 28 April 2018) Sepoi jamuan musik terdengar sayup. Bergantian dengan rintik hujan, juga lengkingan detik, terdengar syahdu. “Maaf, aku harus pergi”. Ungkapnya. Aku tersedak mendengar kalimat itu. “Tapi, bagaimana dengan rumpun hari yang sudah kita nanti?”. Desakku menghadang langkahnya. “Sudah, biar liur langit membuat kita hanyut, lalu berfikir seribu kali untuk bisa bersama kembali”. Rangkai kata yang ia ucapkan membuatku termenung. Ku tatap matanya, indah. Lalu rambut rapihnya, pesona. Wajahnya, ah. Makhluk mana yang tak tertarik setelah memandangnya. “ Tidak! Bukan ini yang aku cari ” Desahku. Kakinya berdecak, bergantian. Seirama dengan iringan musik, rintik hujan dan lengking detik yang menggiurkan. Tetap erat kugenggam lengannya. “Aku harus pergi, Rey!”. Pintanya. Lalu mengendus kesal. Berhembusan. Tangannya terasa kaku, wajahnya memerah. “Luna, dengarkan. Aku tau kau marah soal tadi. Tapi ...
"Terus belajar dan membaca. Membaca pengalaman, alam sekitar, dan segala yang terkait dengan kehidupan"