DIFERENSIASI SUNNAH
dan HADITS
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Study Hadits
Dosen Pengampu:
Dr.
Amrulloh, Lc., M. Th. I.
Oleh:
1. Muhammad Afwan Imamul Muttaqin
2.
Achmad Moehammad Fikrudh Dhuha
3. Achmad Faqieh Ali
PROGRAM STUDY ILMU AL-QUR’AN dan TAFSIR
INSTITUT AGAMA ISLAM BANI FATAH
(IAI BAFA)
TAMBAKBERAS JOMBANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Kedudukan hadits (sunnah) Rosulullah SAW sebagai sumber ajaran
Islam tidak dapat dipisahkan dari al-Quran. Hal ini dikarenakan sumber asal dan
pertama dalam Islam adalah al-Quran, dan hadits nabi merupakan sumber yang kedua
setelahnya al-Quran itu sendiri.
Hal ini sudah disepakati oleh para ummat Islam, khususnya para
ulama’. Meski demikian, di antara ulama’ ada yang membatasi pada hadits-hadits
yang berstatus mutawatir saja, tidak untuk hadits ahad, namun dengan syarat-syarat
tertentu. Disamping itu ada juga ulama’ yang menerima hadits secara keseluruhan
jika memiliki kesamaan dengan al-Qur’an.
Di sisi lain, banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan ummat islam
untuk selalu taat kepada Rosulullah SAW dengan jalan memperhatikan,
mentauladani, dan mencontoh seluruhnya baik perilaku, perkataan, maupun
ketetapan beliau. Hal ini termaktub di dalam surah an-Nisa’: 80 dan al-Hasyr:
7.
Ada beberapa istilah yang
erat mengenai hadits dan sunnah, yakni khabar dan atsar. Lantas, apa perbedaan
antara Hadits dan Sunnah? Atas dasar itulah kami membuat makalah ini untuk membahas
hal-hal yang berkaitan dengan diferensiasi atau perbedaan antara sunnah dan
hadits Rosulullah SAW[1].
B.
Rumusan masalah
1.
Apa pengertian Sunnah dan hadits?
2.
Apa diferensiasi Sunnah dan hadits?
C.
Tujuan masalah
1. Mengetahui pengertan Sunnah dan hadits
2. Mengetahui diferensiasi Sunnah dan hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian sunnah
Menurut bahasa sunnah adalah jalan yang dilalui, tata cara atau
perilaku, baik yang terpuji maupun yang tercela[2]. Terkadang juga bisa disebut kebiasaan (adat) atau tradisi. Kata
sunnah terdapat dalam al-Qur’an; tidak kurang dari 16 ayat. Diantaranya dalam
surah al-Anfal: 38, al-Hijr 13, Ali Imran 137, dan masih banyak lagi.
Secara istilah menurut jumhur ulama’ yaitu segala yang dinukil dari
Rosulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun takrir dan sifat-sifat
beliau baik sesudah dan sebelum diutus menjadi Rosulullah SAW[3].
Menurut ahli ushul, sunnah adalah segala hal yang di nukil dari
Rosul baik berupa perkataan, perbuatan, dan takrir beliau yang berkaitan dengan
hukum syara’[4].
Sedang menurut ahli fiqh sunnah merupakan perkataan, perbuatan, dan
ketetapan Rosul yang bukan mengandung hukum fardlu. Sunnah dalam pandangan
mereka itu termasuk salah satu dari hukum islam yang lima sehingga sunnah
sebagai sesuatu yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggal
tidak mendapat siksa[5].
B.
Pengertian hadits
Kata hadits atau dalam bentuk jama’ ahadits secara bahasa ada tiga bagian, 1: bermakna jadid (hal yang baru),
2: bermakna qorib:
yang belum lama terjadi (baru-baru ini)
3: bermakna khabar: berita (sesuatu yang diucapkan
seseorang dan ucapan tersebut dipindahkan / diberitahukan pada orang lain
sesuai dengan maksudnya.
Secara istilah ما
أضيف إلى النبي صل الله عليه وسلم من قول أو فعل أو تقرير أو صفة
Adalah “sesuatu yang disandarkan kepada Nabi berupa perkataan,
perbuatan, ketetapan, ataupun sifat beliau”[6]
Terdapat beberapa ikhtilaf ulama’ mengenai hai ini. Ulama’ hadits mengatakan
bahwa hadits ialah segala perkataan, perbuatan, ketetapan dan segala keadaan
yang ada pada Nabi Muhammad SAW. Sedang menurut ulama’ ushul, hadits merupakan
segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rosul bersangkut paut dengan hukum
islam. Menurut at-Thiby, sebagaimana dikutip M. Syuhudi Ismail bahwa hadits
ialah segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rosul, para sahabat dan
tabi’in.
Pada mulanya hadits berarti
khabar dan kisah baik yang baru maupun yang lama. Kemudian pengertian hadits
dipakai sebagai khabar yang berkembang dalam masyarakat dalam arti umum, yakni
belum dipisahkan antara berupa wahyu Allah dan khabar yang berupa sabda Rosul .
dan pada akhirnya lafad khabar dipakai khusus untuk hadits- hadits Nabi saja.
Menurut Subhi Shalih, bahwa Nabi sendiri yang menamakan sabdanya sebagai hadits[7].
C.
Diferensiasi Sunnah Dan Hadits
Apabila ditinjau dari segi kualitas amaliyah dan periwayatanya,
maka hadits merupakan berita tentang sesuatu peristiwa yang disandarkan kepada
Nabi walaupun hanya sekali saja Nabi mengerjakanya dan hanya diriwayatkan
seorang saja.
Sedangkan sunnah merupakan amaliyah yang terus menerus dilakukan
oleh Nabi beserta para sahabatnya, kemudian diamalkan oleh generasi-generasi
berikutnya sampai kepada kita.
Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi hal ini. Ahli hadits
mengartikan sunnah dan hadits sebagai satu kesatuan yang sama dimana keduanya
saling memiliki keterikatan yang bersumber dari Nabi. Berupa perkataan,
ketetapan, sifat, budi pekerti maupun perjalanan hidup beliau baik sebelum
diangkat menjadi rasul maupun setelah diangkat menjadi rasul[8].
Sejalan dengan ahli hadits adalah ulama’ terkemuka Muuhammad bin
Idris al-Syafi’i. Beliau berpendapat bahwa sunnah Nabi yang dapat dijadikan
sumber hukum adalah sunnah yang bergandeng dengan hadits dan dapat
dipertanggung jawabkan[9].
Terdapat pendapat yang berbeda. Dr. Taufiq Shidqi sebagaimana
dikutip prof. Hasbi al-Shiddiqi misalnya, mengartikan sunnah sebagai khittah
atau jalan yang diikuti. Maka yang dinamakan sunnah adalah jalan yang Nabi
praktekkan secara terus menerus dan diikuti oleh para sahabatnya. Sementara
hadits merupakan perkataan yang diriwayatkan melalui jalur sanad[10].
Jika diruntut melalui metodi sosio-historis, pada zaman Nabi
Muhammad para sahabat melakukan segala sesuatu yang dilakukan beliau tanpa
adanya periwayatan atau penjelasan secara verbal. Kemudian amaliyah itu ditiru
juga oleh para tabi’in hingga pada generasi ke-3 yaitu zaman tabi’-tabi’in
terdapat ulama yang menetapkan bahwa setiap perbuatan yang dianggap sebagai
sunnah Nabi harus didukung dengan penjelasan secara verbal atau metode
periwayatan (hadits). Dalam rangka menjaga pertanggungjawaban sunnah Nabi[11].
Sejak saat itulah sunnah Nabi selalu identik dengan hadits. Memang,
jumhur ulama sering menggunakan istilah sunnah dan hadits secara bergantian
yang secara langsung dapat dipahami bahwa keduanya memiliki hubungan
continuitas[12].
Namun jika ditinjau dari sudut pandang perkembangan sunah
dan hadits dari zaman ke zaman, maka mempesamakan keduanya bukanlah sikap yang tepat.
Dapat kita tarik pemahaman bahwa hadits dapat diketahui melalui penuturan
secara lisan yang ditransmisikan melalui sanad, sedangkan sunnah dapat
diketahui selain melalui dokumen hadits dan biografi Nabi, juga harus melalui
pengkajian dalam konteks mana tindakan dan perkataan Nabi itu hadir[13].
BAB III
KESIMPULAN
Sunnah menurut Bahasa berarti jalan yang dilalui. Secara
istilah yang dikemukakan oleh ahli hadits, sunnah merupakan segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat, budi pekerti
maupun perjalanan hidup baik sebelum dan sesudah diangkat menjadi rasul [14].
Hadits secara bahasa berarti baru. Dapat juga berarti
dekat. Sedangkan secara istilah hadits adalah penuturan sahabat tentang
Rasulullah baik mengenai perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifat – sifatnya[15].
Sekilas keduanya adalah sama. Namun perbedaan yang sangat
mendasar antara keduanya adalah hadits merupakan laporan verbal yang
disampaikan para sahabat mengenai segala hal yang berasal dari Rasulullah.
Sedanngkan Sunnah merupakan way of life rasul secara utuh yang menjadi uswatun
hasanah.
DAFTAR PUSTAKA
Thohan (at),
Mahmud, mustholah al-hadits.
Ma’shum M, ilmu
meamahami hadits Nabi, Yogyakarta, pustaka pesantren.
Nawawi M, pengantar
studi hadits, Surabaya, kopertais IV press.
Alfatih M, Ulumul Hadits, Yogyakarta,
Penerbit Teras.
Muhammad, Teungku, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra.
[1] Moh. Sahlan, Hadis dan sunnah (depok, penerbit Teras), 19
[2] KH. M.
Ma’shum Zein, M.A., Ilmu Memahami Hadits Nabi(Yogyakarta,
Pustaka Pesantren, 2014) 3.
[3]Dr. M. Afatih
Surydilaga, dkk, Ulumul Hadits (Yogyakarta:
Teras, 2010), 19-29.
[4]Ibid
[5]Ibid
[6]Mahmud
Athohan, Musthalah Al-Hadits
[7] Dr.
M. Afatih Surydilaga, dkk, Ulumul Hadits (Yogyakarta:
Teras, 2010)
[8]KH. M. Ma’shum......5
[9] M. Nawawi, Pengantar Studi Hadits(Kopertai IV Press, Surabaya, 2011)11
[10] Ibid.
[11]Ibid.,7
[12]Ibid.,8
[13]Ibid
[14]KH. M.
Ma’shum......5
[15] M. Nawawi, pengantar stu......5
Comments