Biografi K.H. Abdul Wahab Hasbullah
PENDAHULUAN
Menilik sekilas tentang sejarah lahirnya organisasi Nahdlatul Ulama (NU),
Selain tokoh fundamental K.H.Hasyim Asy’ari dan K.H. A.Wahid Hasyim
juga dikenal K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang berperan penting dalam
proses berdiri sampai berkembangnya NU. Jika sosok K.H. A.Wahid Hasyim
dapat dikategorikan sebagai tokoh dan teladan kaum muda, maka K.H. Wahab
Hasbullah dapat dikatakan sebagai sosok kaum tua dari sederet kiai
dalam organisasi tersebut. Beliau menjadi kiai yang paling lama
berkiprah di pentas perpolitikan nasional. Hal ini disebabkan karena ia
berkiprah tanpa henti mengikuti tiga zaman, yaitu masa pergerakan sampai
merebut kemerdekaan, masa kepemimpinan Soekarno dan masa kepemimpinan
Soeharto. Sosok beliau dikenal sebagai seorang pekerja keras, gesit dan
tekun. Walaupun tubuhnya kecil dan sebenarnya tidak layak disebut
sebagai pendekar, namun ulama khos Kyai Kholil Bangkalan Madura,
menyebutnya semenjak muda sebagai “macan”. Hal tersebut dibuktikan
sebagai sosol kiai yang tidak hanya berani dengan tangan kosong, tapi
juga berani berkelahi lewat jalur politik. Beliaulah yang mendirikan
organisasi Sarekat Islam (SI) cabang Mekkah. Kemudian beliau mendirikan
kelompok diskusi Tashwirul Afkarm Nahdlatul Wathan, dan Nahdlatut Tujjar
yang kesemuanya itu menjadi embrio berdirinya organisasi NU. Bahkan
dalam urusan mistik, Kiai Wahab Hasbullah mempunyai wirid tersendiri
yang bukan hanya cukup disegani, melainkan juga banyak dipercayai oleh
para santri dalam memudahkan segala urusan dunianya.
Kiai Wahab Hasbullah adalah sosok ulama dan kiai yang berpikir
moderat, pragmatis, dan terbuka. Ia bersikap sangat kontekstual dalam
memandang hukum-hukum fikih sehingga sering mendapat peringatan dari
guru beliau, K.H. Hasyim Asy’ari bahwa dalam menyampaikan fikih jangan
sampai kebablasan.
Dari sinilah kita perlu menggali lebih jauh tentang sosok dan
kiprah K.H. Wahab Hasbullah. Dari berbagai referensi yang dapat penulis
temukan dalam menyusun makalah ini, semoga dapat membawa manfaat bagi
kita semua, terutama bagi Anda yang ingin menjadikan beliau sebagai
teladan.
B. BIOGRAFI KIAI WAHAB HASBULLAH
Kelahiran dan Masa Kanak-Kanak
Kiai Abdul Wahab Hasbullah lahir dari pasangan Kiai Hasbullah dan
Nyai Latifah, pada Maret 1888 di Tambakberas, Jombang, Jawa Timur. Wahab
Hasbullah kecil banyak menghabiskan waktunya untuk bermain dan
bersenang-senang layaknya anak-anak kecil masa itu. Semenjak
kanak-kanak, Wahab Hasbullah dikenal sebagai pemimpin dalam segala
permainan.
Silsilah Keturunan
K.H. Wahab Hasbullah berasal dari keturunan Raja Brawijaya IV dan
bertemu dengan silsilah K.H. Hasyim Asy’ari pada datuk yang bernama Kiai
Soichah.
Pendidikan
Masa pendidikan K.H. Abdul Wahab Hasbullah dari kecil hingga besar
banyak dihabiskan di pondok pesantren. Selama kurang lebih 20 tahun, ia
secara intensif menggali pengetahuan keagamaan dari beberapa pesantren.
Karena tumbuh dilingkungan pondok pesantren, mulai sejak dini ia
diajarkan ilmu agama dan moral pada tingkat dasar. Termasuk dalam hal
ini tentu diajarkan seni Islam seperti kaligrafi, hadrah, barjanji, diba’, dan sholawat. Kemudian
tak lupa diajarkan tradisi yang menghormati leluhur dan keilmuan para
leluhur, yaitu dengan berziarah ke makam-makam leluhur dan melakukan tawasul.
Beliau dididik ayahnya sendiri cara hidup,seorang santri. Diajaknya
shalat berjamaah, dan sesekali dibangunkan malam hari untuk shalat
tahajjud. Kemudian Wahab Hasbullah membimbingnya untuk menghafalkan Juz
‘Amma dan membaca Al Quran dengan tartil dan fasih. Lalu beliau dididik
mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang paling kecil dan isinya
diperlukan untuk amaliyah sehari-hari. Misalnya: Kitab Safinatunnaja, Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahab, Muhadzdzab dan Al Majmu’. Wahab Hasbullah juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulumul Quran, Hadits, dan Ulumul Hadits.
Kemauan yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak
semenjak masa kecilnya yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang
dipelajarinya. Selama enam tahun awal pendidikannya, ia dididik
langsung oleh ayahnya, baru ketika berusia 13 tahun, Wahab Hasbullah
merantau untuk menuntut ilmu. Maka beliau pergi ke satu pesantren ke
pesantren lainnya.
Diantara pesantren yang pernah disinggahi Wahab Hasbullah adalah sebagai berikut:
1. Pesantren Langitan Tuban.
2. Pesantren Mojosari, Nganjuk.
3. Pesantren Cempaka.
4. Pesantren Tawangsari, Sepanjang.
5. Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura dibawah asuhan Kiai Kholil Bangkalan.
6. Pesantren Branggahan, Kediri.
7. Pesantren Tebu Ireng, Jombang dibawah asuhan K.H. Hasyim Asy’ari.
Khusus di Pesantren Tebu Ireng, ia cukup lama menjadi santri. Hal
ini terbukti, kurang lebih selama 4 tahun, ia menjadi “lurah pondok”,
sebuah jabatan tertinggi yang dapat dicicipi seorang santri dalam sebuah
pesantren, sebagai bukti kepercayaan kiai dan pesantren tersebut
(Mashyuri, 2008:83).
Menikah dan Membina Rumah Tangga
Pada tahun 1914, Abdul Wahab Hasbullah menikah dengan Kiai Musa
yang bernama Maimunah. Sejak itu ia tinggal bersama mertua di kampong
Kertopaten Surabaya. Dari perkawinan ini lahir seorang anak laki-laki
pada tahun 1916 bernama Wahib, yang kemudian dikenal sebagai Kiai Wahab
Wahib. Namun, pernikahan dan membina rumah tangga ini tidak berlangsung
lama. Istrinya meninggal sewaktu mereka berdua menjalankan ibadah haji
pada tahun 1921. Setelah itu Kiai Wahab Hasbullah menikah lagi dengan
perempuan bernama Alawiyah, pitri Kiai Alwi. Namun pernikahan ini pun
tidak berlangsung lama sebeb setelah mendapatkan putra, istrinya
meninggal. Begitu juga untuk ketiga kalinya ia menikah lagi, namun
pernikahannya tidak berlangsung lama. Tidak jelas siapakah nama istri
ketiganya ini, Juga, penyebab terputusnya pernikahan yang tidak lama
tersebut, apakah karena istrinya meninggal atau bercerai.
Dari sini beliau menikah lagi, pernikahan keempat dilakukan dengan
Asnah, putrid Kiai Sa’id, seorang pedagang dari Surabaya dan memperoleh
empat orang anak, salah satunya bernama Kiai Nadjib (almarhum) yang
sekanjutnya mengasuh Pesantren Tambakberas.
Namun lagi-lagi pernikahan ini tidak langgeng kembali. Nyai Asnah
meninggal dunia. Kemudian Kiai Wahab menikah lagi untuk yang kelima
kalinya dengan seorang janda bernama Fatimah, anak Haji Burhan. Dari
pernikahan ini beliau tidak mendapatkan keturunan. Namun, dari Fatimah
ia memperoleh anak tiri yang salah satunya kelak besar bernama K.H. A.
Syaichu.
Dari sinilah banyak orang mencemooh perilaku Kiai Wahab. Tidak
jarang, banyak orang yang menjulukinya sebagai “kiai tukang kawin”
karena setekah itupun ia menikah kembali untuk yang keenam kalinya. Kali
ini dengan anak Kiai Abdul Madjid Bangil, yang bernama Ashikhah.
Pernikahan inipun tidak berlangsung lama karena saat menunaikan ibadah
haji bersama, Nyai Ashikhah meninggal dunia. Dari istri ini beliau
dikaruniai empat orang anak.
Pernikahan belaiau yang terakhir, yang ketujuh adalah dengan kakak
perempuan Ashikhah, bernama Sa’diyah. Dengan perempuan inilah pernikahan
Kiai Wahab mencapai puncaknya, artinya langgeng sampai akhir hayat
beliau. Dari Nyai Sa’diyah ini beliau mendapatkan beberapa keturunan,
yaitu Mahfuzah, Hasbiyah, Mujidah, Muhammad Hasib dan Raqib (Masyhuri,
2008:84 dan Aceh, 1957:125-126).
Wafat
K.H. Abdul Wahab Hasbullah menjabat Rais Aam Organisasi Nahdlatul
Ulama sampai akhir hayatnya. Muktamar NU ke-25 di Surabaya adalah
Muktamar terakhir yang diikutinya. Khutbah al-iftitah muktamar
yang lazim dilakukan oleh Rais Aam kemudian diserahkan kepada K.H.
Bisri Syansuri yang biasa membantunya dalam menjalankan tugasnya sebagai
Rais Aam untuk membacakannya. K.H. Abdul Wahab Hasbullah meninggalkan
muktamar dalam keadaan sakit yang akut. Hampir lima tahun ia menderita
sakit mata yang menyebabkan kesehatannya semakin menurun.
Akhirnya, tepat empat hari setelah muktamar atau tepatnya Rabu, 12
Dzulqa’idah 1391 H atau 29 Desember 1971, Kiai Wahab Hasbullah wafat di
kediamannya, Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak beras, Jombang
(Masyhuri, 2008:107).
C. PERJUANGAN
Perjuangan K.H. Abdul Wahab Hasbullah dapat dikatakan lebih
dikaitkan dengan persoalan pergerakan, organisasi, maupun istilahnya
politik Islam. Langkah awal perjuangan yang ditempuh K.H. Abdul Wahab
Hasbullah yaitu lewat jalur pendidikan. Ia mendirikan madrasah bernama “Nahdlatul Wathan”.
Nama madrasah sengaja dipilih Nahdlatul Wathan yang berarti:
“bangkitnya tanah air” adalah bukti dari cita-cita murni Kiai Abdul
Wahab Hasbullah untuk membebaskan bangsa dari belenggu kolonial Belanda.
Menurut K.H. Muhammad Ghozi Wahid (cucu Kiai Wahab) dalam peristiwa
10 November, Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar, seperti Kiai Bisri
Syansuri, Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah dan Mbah Abas
Buntet Cirebon, mengerahkan seluruh kekuatan gaibnya untuk melawan
tentara sekutu. Hizib-hizib yang mereka miliki dikerahkan semua untuk
menghadapi lawan yang bersenjata lengkap dan modern. Sebutir kerikil
atau jagungpun ditangan kiai-kiai itu dapat difungsikan menjadi bom
berdaya ledak besar.
Ketika Kiai Hasyim Asy’ari ditangkap Jepang sekitar bulan April-Mei
1942, Kiai Wahab dan K.H. Wahid Hasyim bersama para kiai berulangkali
melakukan dialog dengan Saikoo Sikikan (panglima tertinggi tentara
Jepang di Jawa) untuk memperjuangkan pembebasan Kiai Hasyim Asy’ari.
Menurut catatan sejarah, penangkapan tersebut dilatar belakangi oleh
adanya fatwa K.H. Hasyim Asy’ari yang mengharamkan para santrinya
melakukan saikere, yaitu kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia
untuk membungkukkan badan sembilan puluh derajat kearah Tokyo untuk
menghormat Tenno Heika, Raja Jepang. K.H. Hasyim Asy’ari mengaharamkan
tindakan tersebut dan fatwa beliau disampaikan kepada Saikoo Sikikan.
Selama satu bulan waktunya dihabiskan untuk menagani persoalan tersebut.
Setelah melampaui perjuangan yang berat dan penuh resiko, akhirnya
terbebaslah Kiai Hasyim Asy’ari dari tahanan pemerintah militer Jepang
setelah lebih dari empat bulan beliau dipenjara oleh Jepang. Akan
tetapi, pekerjaan Kiai Wahab belum selesai hingga disini. Lalu pergilah
Kiai Wahab Hasbullah ke Wonosobo untuk membebaskan 12 orang tokoh ulama
NU melalui pengadilan Jepang.
Tidak kalah pentingnya memperhatikan langkah-langkah perjuangan
lain yang ditempuh Kiai Wahab. Ini penting karena dalam diri Kiai Wahab
agaknya tersimpan beberapa sifat yang jarang dipunyai oleh orang lain.
Beliau adalah tipe manusia yang pandai bergaul dan gampang menyesuaikan
diri dengan lingkungannya. Tetapi, beliau juga seorang ulama yang paling
tangguh mempertahankan dan membela pendiriannya. Beliau diketahui
sebagai pembela ulama pesantren (ulama bermadzhab) dari
serangan-serangan kaum modernis anti madzhab.
Apa pun nama madrasah di beberapa cabang itu pastilah dibelakangnya tercantum nama “Wathan”
yang berarti tanah air. Ini berarti tujuan utamanya adalah membangun
semangat cinta tanah air. Kecuali berjuang dengan Nahdlatul Watan beliau
juga aktif berkiprah sebagai penasehat di Masyumi yang
beranggotakan dari kalangan NU dan Muhammadiyah. Sebelumnya ia juga ikut
mendirikan MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia) bersama K.H. Achmad
Dahlan (Muhammadiyah) dan K.H. Mas Mansur (non-partai) karena didorong
oleh kesadaran perlu menciptakan suasana hubungan yang baik antara
partai dan organisasi-organisasi Islam saat itu. MIAI didirikan di
Surabaya pada tanggal 12 September 1937, namun pada bulan Oktober 1943
dibubarkan Jepang karena dianggap membahayakan kedudukan Jepang.
Sarekat Islam (SI) adalah pergerakan yang beliau dirikan
selanjutnya bersama rekan-rekannya ketika masih menuntut ilmu di Mekkah.
Pergerakan ini bukan sekadar mengumpulkan cendekiawan dari kalangan
Islam tanah aur, melainkan gerakan ini juga ingin memajukan kaum Islam
yang rendah ekonominya dan rendah pengetahuannya.
Beliau juga tidak dapat membiarkan serangan-serangan kaum modernis
yang dilancarkan kepada ulama bermadzhab. Lagi pula, serangan-serangan
itu tidak mungkin dapat dihadapi sendirian. Sebab itu, pada tahun 1924,
Kiai Wahab membuka kursus “Masail Diniyyah” (khusus
masalah-masalah keagamaan) guna menambah pengetahuan bagi ulama-ulama
muda yang mempertahankan madzhab pesantren. Dengan demikian, Kiai Wahab
telah juga membangun pertahanan cukup ampuh bagi menolak
serangan-serangan kaum modernis.
Selanjutnya, pada saat pemimpin-pemimpin Islam mendapat undangan
dari Raja Hijaz, beliau lalu membentuk Komite Khilafat yang diberinama “Komite Hijaz” atas izin dari K.H. Hasyim Asy’ari. Belaiu mendirikan “Komite Hijaz”
sebagai bentuk respon atas proses “wahabisasi” di Arab yang memberi
pengaruh pada persoalan kebebasan beribadah sesuai dengan
kepercayaannya. Komite ini kemudian mengirim delegasi sendiri ke
Makkah-Madinah. Dan Komite Hijaz inilah yang kemudian melahirkan
Jam’iyah Nahdlatul Ulama, sehingga kehadiran NU tidak dapat dilepaskan
dari perjuangan K.H. Abdul Wahab Hasbullah.
D. PEMIKIRAN KIAI WAHAB HASBULLAH
Jika disejajarkan dengan Gus Dur (Abdurrahman Wahid), maka Kiai
Wahab Hasbullah memiliki banyak persamaan yang didasarkan pada masanya
masing-masing. Keduanya sama-sama tokoh yang sangat kontraversial di
kalangan ulama dan politisi. Abdurrahman Wahid dikenal sebagai ulama dan
cendekiawan yang sikap dan maneuver-manuver politik yang dilakukannya
sering menimbulkan pertanyaan tentang integritas dan konsistensi
idealisme dan cita-cita perjuangannya. Kemudian kenapa Kiai Wahab
Hasbullah juga begitu kontraversial?.
Diantara beberapa hal yang menjadikan Kiai Wahab menjadi ulama
sekaligus politisi dan cendekiawan yang kontraversial dikalangan umat
Islam Indonesia adalah ketika meningginya konflik antara kaum modernis
dan reformis dengan kaum tradisionalis, beliau tampil sebagai “guardian” tradisionalisme dengan jalan membentuk Taswirul Afkar
pada tahun 1918 yang kemudian melaksanakan perdebatan terhadap
permasalahan yang diperdebatkan kaum tradisionalis dan modernis saat
itu.
Bidang Pendidikan
Menurut beliau pendidikan tidak harus dilakukan di pesantren dan
mendidik anak harus tepat pada situasi dan kondisi yang dibutuhkan
masyarakat, namun bukan berarti pendidikan pesantren dilupakan. Oleh
karenanya selain ia melakukan pendidikan di Pesantren Bahrul Ulum
Tambakberas, Jombang, juga melakukan pendidikan di luar pesantren yang
ditujukan untuk kalangan umum dan terpelajar dengan mendirikan kelompok
diskusi bernama Tashwirul Afkar. Melalui Nahdlatun Wathan beliau juga telah berhasil mendirikan beberapa sekolah di berbagai daerah, antara lain:
1. Sekolah/Madrasah Ahloel Eathan di Wonokromo
2. Sekolah/Madrasah Far’oel Wathan di Gresik
3. Sekolah/Madrasah Hidayatoel Wathan di Jombang, dan
4. Sekolah/Madrasah Khitaboel Wathan di Surabaya (Mashyuri, 2008:86-87).
Bidang Keagamaan
Konsep Kiai Wahab Hasbullah tentang keagamaan terutama bagaimana
peran Islam, lebih banyak berreferensi dari tradisi politik keagamaan
Sunni dan pla pergerakan ahlus sunnah wal jama’ah. Pemikiran
beliau lebih terbuka dengan tidak keras atau fanatik pada suatu
pendapat, pragmatis demi mencari solusi kebenaran bersama, dan kebutuhan
mendesak dan penting serta kontekstual, atau yang kita kenal sebagai
moderatisme.
Pergerakan
Progresivitas konsep pergerakan Kiai Wahab Hasbullah terlihat jelas
ketika ia turut serta dalam membidani lahirnya organisasi kalangan
Islam NU. Mengapa hal demikian disebut sebagai progresivitas pemikiran
pergerakan dari Kiai Wahab Hasbullah?
Tidak lain karena organisasi pergerakan di Indonesia kala itu
muncul dari kalangan terpelajar atau dari kota yang dibekali pendidikan
notabene ciptaan Belanda. Pendidikan itu sangat menekankan rasionalitas
modern dalam memandang persoalan kehidupan. Sementara kalangan Islam
tradisional kebanyakan adalah kelompok masyarakat tradisional, kalangan
petani, yang kebanyakan pola pandangan hidupnya masih sedikit
terpengaruh pemikiran nasional modern, karena mereka mengandalkan bacaan
kitab kuning-nya yang mereka pelajari di pesantren.
Demokrasi
Diceritakan oleh Saifudin Zuhri dalam salah satu bukunya, Biografi Wahab Hasbullah, disebutkan sebagai berikut:
“Kami bertiga, Kiai Wahab, Pak Idham, dan Saifuddin Zuhri sama-sama
duduk dalam dewan pertimbangan agung mewakili NU. Berbulan-bulan dewasa
ini membicarakan “sosialisme Indonesia”, “Landreform”, “Pancasila” dan
lain-lain. Ada dua aspek yang selalu diperhatikan oleh NU dalam
pembahasan tersebut. Sosialisme Indonesia menurut NU haruslah sosialisme
ala Indonesia dan bukanlah sosialisme ala komunisme, baik Moskow atau
Peking. Sosialisme Indonesia tak lain dan tak bukan adalah dibentengi
ideology Negara ualah Pancasila dan UUD Negara yang menjamin setiap
penduduk menjalankan keyakinan agamanya. Sementara itu, tentang landasan
“landreform”, pada dasarnya NU dapat menyetujuinya selama gerakan ini
tidak mengandung maksud melenyapkan hak milik pribadi dan negara.
Menurut ajaran Islam, tiap-tiap hak milik harus dilindungi dan
dipertahankan, namun juga diwajibkan menegakkan keadilan.” (Zuhri,
1983:72-73).
Bagi Wahab Hasbullah, nilai dasar demokrasi adalah
memanusiakan manusia dan mengaturnya agar pola hubungan antar-manusia
itu dapat saling menghormati perbedaan dan mampu bekerjasama sehingga
menciptakan kesejahteraan bersama.
E. WARISAN DAN PENINGGALAN KIAI WAHAB HASBULLAH
Ukuran ketokohan K.H. Wahab Hasbullah bukanlah terletak pada buku
karya ilmiahnya, karena memang bolah dikatakan beliau tidak meninggalkan
sebuah karangan pun, melainkan buah pikiran dan kemampuan ilmunya yang
diuraikan dimana-mana dalam banyak kesempatan dan peristiwa. Mungkin
bagi kalangan intelektual murni, yang suka menganalisis dari teks ke
teks saja, hal ini sangat disayangkan. Setidaknya, beliau menyempatkan
diri untuk menuliskan buku panduan menkadi politisi menurut konsep
aswaja.
Namun, sebenarnya tidaklah benar seratus persen jika Kiai Wahab
Hasbullah hanyalah seorang tokoh atau kiai politik saja. Beliau dikenal
sebagai kago silat dan ahli wirid. Konon dimana-mana, Kiai Wahab
menyebut ijazah, macam-macam hizib, wirid kepada seluruh warga NU da
siapa saja yang memerlukan kekebalan diri. Ia menyatakan orang Islam
bukan hanya berwibawa dan disegani karena ilmunya, melainkan juga karena
wiridnya. Salah satu peninggalan wirid Kiai Wahab yang terkaenal dan
biasa diamalkan terutama dikalangan Pesantren sampai sekarang, dicuplik
dari buku Azis Mashyuri, yaitu:
“Maulaya shalli wa sallim da’iman abada
‘alal habibika khairil khalqi kullihimi
Huwal habibul ladzi turja syafa’atuhu
Likulli hauli minal ahwali muktahimi”.
F. PENUTUP
Pepatah menyatakan “tiada gading yang tak retak”, penyusun
tuliskan sebagai reflaksi terhadap tokoh Kiai Wahab Hasbullah dalam
makalah ini. Beliau memang orang besar, semua orang banyak yang
mengakuinya. Namun, Kiai Wahab Hasbullah juga seorang manusia. Manusia
tetaplah manusia yang tetap pada sifat kemanusiaannya, bisa marah, bisa
lupa ataupun salah. Karena jika tidak demikian ia tentunya adalah
malaikat.
Pemakalahpun dalam hal ini melihat sosok beliaupun demikian.
Pemakalah tidak meragukan perannya terhadap berbagai pergerakan dan
organisasi yang beliau realisasikan didalamnya, terutama di organisasi
Nahdlatul Ulama yang lahir pada tahun 1926 dan telah berkembang menjadi
organisasi terbesar dikalangan mayoritas umat Islam di Indonesia.
Menurut Budiawan, suatu godaan besar senantiasa menghadang para
penulis biografi adalah kecenderungan untuk terjebak kedalam
personifikasi nilai-nilai pada diri tokoh yang menjadi subyek penulisan.
Lebih-lebih bila motivasi itu berada diluar kepentingan akademis,
godaan yang lebih besar semakin tak terelakkan.
Jika godaan itu semakin besar, tidak jarang dijumpai sebuah
biografi yang mengisahkan seorang tokoh melampaui kapasitasnya sebagai
manusia. Biografi semacam ini jelas sudah sudah tidak lagi berbicara
tentang kisah manusia, tetapi kisah tentang manusia yang telah
dinobatkan sebagai “setengah dewa” atau “dewa”.
Budiawan dalam hal ini sepakat dengan pendapat Ralph Ross,
bahwasanya biografi bukan sepenuhnya ilmu, melainkan berada pada
perbatasan antara ilmu dan seni. Dalam bahasa Ralph Ross, biografi
adalah seni yang semi-ilmiah (Budiawan, 2006:1-4).
DAFTAR PUSTAKA
Rifa’i, Muhammad. K.H. Wahab Hasbullah Biografi Singkat 1888-1971. Garasi House of Book. Jogjakarta. 2010.
Tim PW LP Ma’arif Jawa Timur. Pendidikan Aswaja & Ke-NU-an untuk SMP/MTs. PW LP Ma’arif. Jawa Timur.
Azra, Azyumardi. Islam Reformis. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. 1999.
Maschan Moesa, Ali. Kiai Politik. LEPKISS. Surabaya. 1999.
Syafi’i Ma’arif, Ahmad. Islam dan Politik. Insani Press. Jakarta. 1996.
(https://abianan.wordpress.com/2013/11/13/biografi-k-h-abdul-wahab-hasbullah/)
Comments