*Oleh: Bapak Muhammad Zulianto
Jauh sebelum pemerintah menanamkan program literasi wajib membaca dan menulis di kurikulum sekolah, kaum santri sudah lebih dulu akrab dengan kegiatan membaca dan menulis sebagai kurikulum.
Pesantren-pesantren yang di isukan "ndeso", tradisional dan konservatif itu, nyatanya telah lebih dulu menjadwal kegiatan-kegiatan yang sifatnya tarbiyah-ubudiyah (pendidikan dan amalan), dan menata dengan teratur jadwal dirasah-ta'limiyah (kajian dan belajar-mengajar) yang isi kurikulumnya adalah membaca, menulis dan kemudian mereproduksi (menulis ulang) dalam komentar yang lebih panjang.
Tidak hanya itu, pada setiap materi yang diajarkan dan dipelajari oleh santri, ada kegiatan-kegiatan pengayaan seperti "bahsul" (pembahasan), "takror" (mengulang pelajaran yang telah disampaikan guru) dan syawir (musyawarah), sehingga ilmu yang di dapatkan dari guru selalu berkembang.
Maka mafhum jika di nuansa belajar pesantren dikenal istilah "matan" (kitab/buku babon), yang direproduksi menjadi syarh (buku / kitab berisi komentar rinci tentang matan), dan diekplorasi menjadi hasiyah (keterangan yang lebih detail dan luas dari syarh). Seperti Taqrib (matan) menjadi Fath al-Qorib (Syarh), menjadi al-Bajuri (Hasiyah).
Pendidikan ala santri, menekankan pendidikan yang orientasinya ridla Allah dan ukrawi, sehingga dalam praktiknya para santri tidak terpengaruh dengan hal-hal yang bersifat pragmatis ijazah, karir, dan hal-hal lain yang prestisnya gagah dan bonafit. Mereka tetap teguh dengan tradisi membaca dan "maknai" kitab kuning, "sorogan", "weton" dan "bandongan". Tapi juga tidak meninggalkan buku-buku "putihan".
Walapun bagitu, santri juga selalu terbuka dengan kemajuan, asalkan kriteria dari kemajuan tersebut adalah "Aslah" (lebih baik). Maka tidak heran jika walaupun santri, kelak di masyarakat mereka bisa menjadi apapun. Ini karena sejak nyantri mereka sudah terlatih menjadi pembelajar dengan prinsip "niat ingsun golek ilmu manfaat, kanggo ngilangno kebodohan". (*)
Comments