Juni 1996
Seharian
perutku belum terisi apapun kecuali air. Hari itu pondok sepi. Anak-anak sudah pada
pulang. Maklum, liburan panjang semester genap. Aku sudah terbiasa tidak pulang
setiap liburan. Bahkan dalam rentang tahun 1989 sampe 2002, hanya 2 kali aku
shalat iedul fithri dirumah. Selebihnya sholat dipondok dan baru pulang sore harinya
setelah sungkem Romo Yai.
Jam
3 sore, Hani (santri yg hidmah ndriver
Yai) sedang memarkir mobil kijang Yai didepan dalem, itu pertanda Beliau akan
tindak menghadiri pengajian ke luar kota. Benar dugaanku. Malam itu rencananya
Yai ngaos ke daerah Widang-Tuban.
Aku
yang saat itu lapar banget, tiba-tiba saja timbul keinginan nderek(jawa:ikut)
Yai. Pikirku "nanti kalo pengajian selesai, prasmananya pasti sip dan
tentu beliau bakalan ngajak makan sopir dan pendereknya. Asyik dapat makan
gratis” (he he he )
Aku mendekati
Hani yang saat itu ngelapi mobil "Han, aku nderekno yai oleh po
ra yo?" kataku. "Beres, InsyaAllah oleh... Tapi aku tak matur
disik" Jawabnya. Singkat cerita, akhirnya Romo Yaipun mengizini.
Kami
bertiga berangkat ba’da maghrib. Rencananya panitia menunggu beliau
diarea pesantren Langitan. Sekitar jam 8 kami sampai di Ponpes Langitan. Disana
ternyata sudah ada Gus Wafi (putra alm. Yai
Aman), belakangan ini baru aku ketahui ternyata panitianya teman Gus Wafi.
Lama sekali kami menunggu, bahkan hampir jam setengah 10 panitia tidak datang
juga. Entah karena apa akhirnya tidak
satupun panitia yang datang. "ngene iki lho piye, janji janji dewe kog
disulayani dewe. Wis Han, ayo moleh wae" Dawuh Beliau.
Mendengar
Beliau dawuh begitu semakin lemaslah aku. Bayangan prasmanan gratis dengan
segala menu lezat, sirna seketika. Dalam hati aku bergumam "mati aku
nek Yai gak sido ngaos, piye ikii nasibkuuu.... jek urip ta gaak aku
menisuk". Aku masuki mobil dengan perasaan yg tidak karu-karuan.
Mobilpun berjalan keluar Pondok Langitan. Beliau mendel dan Hanipun
diam. Meskipun keliatan diam, tapi hatiku terus ngomel "iki nek gak
sido prasmanan, mangan opooo, terus piye nasibe wetengku iki"
Allohu
Akbar!!
Ketika
grundelan hati tak bisa dipaksa berhenti, tanpa kuduga Beliau dawuh, "Sup,
wetengmu luwe yo? Engko nok pasar Babat ayo mangan, timbang ati ngersulo, gak
ilok"
Seketika
itu perasaanku campur aduk. Malu karena batinku terbaca oleh beliau. Tapi juga
senang, karena gak jadi kelaparan. (Wkwkwkw. Dasar santri bocor alus!)
"Han
gole’o warung bebek utowo ayam goreng" Lanjut
Beliau. Mobilpun berhenti. Kami bertiga masuk diwarung pinggir jalan pasar Babat.Yai
pinarak sendiri menghadap keutara. Aku dan Hani disamping kanan beliau
menghadap kebarat. Tepat dibelakangku ada tiang iklan rokok yang cukup terkenal
pada masa itu.
Sambil
dahar, sesekali beliau dawuh dengan Hani. Aku sendiri meski ndredek,
tetep berusaha tidak menyia-nyiakankan momentum indah bersama Beliau (sweet
memory). Juga lezatnya paha dan jenggutru bebek goreng. ( wkwkwkwkwk ).
Namun,
aku tersentak ketika tanpa ku duga Beliau dawuh "Sup awakmu kepingin
kuliah yo.... ?" Aku diam tak menjawab. Ingin aku jawab “tidak” toh
kenyataanya memang iya. Aku jawab “iya” aku juga tidak berani. Akhirnya beliau
meneruskan dawuhnya "gak usah kuliah disek, manuto wong tuwo, ngapalno
quran". Aku terheran-heran. Darimana Beliau tahu kalo aku pingin
kuliah? Kalau dari orang tuaku, bisa dipastikan setiap sowan mesti denganku dan
tak pernah sekalipun selama ini matur tentang itu. Beliau meneruskan dawuhnya "Sup
deloken tulisan iklan rokok sing tok sendeni iku..YANG PENTING RASANYA BUNG,.
Ilmu iku yo ngunu Sup, YANG PENTING MANFAAT DAN BAROKAH NYA BUNG".
Dawuh
Beliau yang terakhir benar-benar menghujam relung hatiku. Selama perjalanan
pulang hatiku terus menggemakan dawuh itu. Beliau mengajariku untuk bisa
membedakan mana bungkus, mana isi, mana wasail, mana maqosid, mana simbol, mana
substansi
والله
اعلم بالصواب
Rumahku
Istanaku 23 Desember 2013.
Comments