Au Revoir,
Cantik!
Oleh: Al-Awwal
Aku
kembali menatapnya, mengintai hampir setiap gerak-geriknya. Sama tak berbeda
dengan tatapanku dulu saat dia keluar dari rumahnya. Ketika berjalan menuju
masjid dan duduk tenang seraya membaca Kalamullah
di dalam masjid. Entah penyakit apa yang melumuri hatiku, semenjak aku
mendengar namanya, menatap wajahnya dan mengintai hampir setiap gerak-geriknya.
Seperti saat ini.
Aku yakin semua orang memiliki
perasaan dan tanggapan yang tak sama saat dirinya tertimpa rasa yang mengandung
tanda Tanya seperti yang aku rasakan saat ini. Entah, tak sanggup aku menyiksa
diriku dengan mencoba untuk melupakannya. Dan yang menjadi masalah adalah aku
belum bisa dekat dengannya, menyapanya saja aku ragu, bahkan tak akan pernah
bisa. Terlihat dari gerakanya, guratan wajah dan tatapanya saat aku mencoba
mendekatinya, semoga hanya anganku bukan kenyataan. Biarlah, hanya waktu yang
memberikan jawaban tentang semua ini.
“Apa
Ri ….. ? ngagetin aja kerjaanmu!”. Bentakku kesal.
“Ngapain
sih kamu menyendiri terus belakangan ini? pakek nglamun lagi?”. Rio nyengir, aku
terdiam sejenak, menghela nafas.
“Siapa
yang nglamuan? aku hanya ingin sendiri, lagi mikir Broww aku…!”. Jelasku.
“Tiap
hari kok mikir terus?. Mikir apa kamu Mas?”. Tanyanya penasaran.
Aku
menghela nafas kembali.
“Aku
memikirkan tentang betapa indahnya jika aku dapat terbang kelangit menatap
senja”. Anganku mengada-ngada.
“Aku
faham apa yang kau maksud Dimas, pasti ada hubungannya dengan anak kemaren itu
kan?”. Rio meringis mendesak.
“Kau
tau Rio, berapa lama aku merasakanya?”. Ku coba mengalihkan suasana.
“Tak
lebih dari tiga tahun bukan?”. Jawabnya tegang.
“Dan
menurutmu, apakah aku hanya akan
menyiksa diriku dengan memendam persaan ini terlalu lama?”.
“Mungkin
kau akan terperangkap dalam sugesti yang menganggap bahwa setiap langkahmu
hampa tanpa dirinya bukan ?”. Suaranya tegas, nadanya melunjak, seakan ia
mendesakku untuk segera ambil jalan keluar.
“Lalu
apa yang harus aku lakukan Rio ?”.
Hela
nafasku kian dalam, terbawa suasana yang mulai tegang.
“Tinggal
kamu pilih Dimas, Ungkapkan atau hempaskan!”. Rio menatapku tajam, aku sedikit
tertunduk.
Rio
menepuk bahuku , lantas pergi.
…………………………………………#
Aku menatapmu kembali, tak ubahnya
tatapanku kemaren, namun tatapan ini berbeda, kutancapkan dalam-dalam sedengkal
keberanianku, walaupun hanya untuk sekedar menyapanmu. Mengamati kebiasaanmu, keluar
dari rumah dengan jilbab anggun khas rangkaian minang, menggendong mukena dan
AL Qur’an yang sengaja tidak kau tinggal di serambi karna itu adalah
peninggalan al marhum kakek, berjalan pelan menuju masjid. Anggun nian engkau
makhluk tuhan. Namun sebelum engkau duduk tenang seraya membaca kalamullah di serambi yang tersatir kain
hijau tua panjang, bibir ini berujar ”Assalamualaikum!”.
Jantungku kian berdebar, helaan nafasku ter engah-engah, bak hempasan angin
menerpa lautan, menghanyutkan fikiran. Dia terhenti, menoleh dan menjawab ”Waalaikumussalam,
ada apa dimas?”. tanyanya lembut. Detik itu Kurasakan dunia hanya milikku.
Anganku melayang, menyisakan kepastian tentang apa yang benar-benar ku
harapkan.
“Maafkan
aku tentang sikap tak menentuku selama ini,!”. Perlahan maaf itu terlontar, dia
bersimpuh di duduk di bawah satir yang membatasi kami.
“pintu
maafku selalu terbuka untuk siapa saja”. Jawabnya .
“Terimakasih”.
Ungkapku.
Aku
terdiam, tak sanggup berkata. Sesekali memandan satir itu namun tak begitu
lama, lebih sering memandang kosong halaman masjid yang begitu luas.
“Memendam
perasaan terlalu lama hanya akan mengukirkan luka”. Ucapanya melebur
keheningan. binar tatapanya memantul dari kaca mengarah tajam kepadaku, namun begitu
teduh bersahabat. Aku membalas dengan diam.
Senja
kini semakin remang. Sebelum pertemuan singkat ini berakhir datar, aku harus
bisa berkata kalau aku akan mengatarnya pergi besok.
“Ku
harap kamu akan datang menemuiku di pantai besok, bersama senja itu”. Aku
menatap senja merona di hadapan kami. Sudah terbayang bagaimana kebahagiaan itu
kan terasa besok
“insyaallah,
akan aku usahakan“. Aku lega, walau pertemuan ini terasa begitu singkat. Tapi
bintang kejora itu akhirnya bersedia singgah.
Dia
beranjak melangkah menuju ke shof barisan pertama. Dan senja kini benar-benar
telah lelap oleh gelap. Malam kembali mengengedarkan ketenangan. Bintang
mengisyaratkan agar tetap bersabar menunggu hari esok.
25, desember 1998. Hari ini
kebehagiaan itu akan terwujud, bukan lagi angan. Kawan. Aku menunggunya di
antara hamparan pasir, menikmati nyanyian gelombang, menatap senja. Sebelum biasnya
benar-benar merekah merona. Aku berharap dia segera dating. Aku hanya ingin
menatap kepergian senja bersamanya. Bersama senyum manisnya, bersama kilauan bola mata yang teduh. Juga
tentu diiringi oleh alam yang diam-diam mulai menyetujui dengan pancaran senja
yang begitu merona. Namun hingga senja mulai redup dia delum datang. ”Apakah
dia lupa? Atau, tak mau? atau …? “. Fikiranku mulai gusar. Hingga sudah mulai
remang dia belum juga datang. Tetapi, aku akan tetap di sini, tak akan putus
asa menunggunya.Walau senja berganti purnama dan purnama teralih sang suryaaku
akan tetap disini,menunggunya dan menikmati senja esok bersamanya.
“Dimas…………!!!! “.Suara teriakan itu
memecah kesunyianku. Aku mengenali suara itu. Bukan, bukan dia. Tapi Rio. Aku
tersentak, menoleh. Rio berlari panik. “Dimas..!” Suaranya terengal.
“Ada apa Rio…..?”. Aku menyeka pelipis, begitu penasaran.
“Ada apa Rio…..?”. Aku menyeka pelipis, begitu penasaran.
“Dia
…. Dia Dimas ……!! Dia meninggal .!!!!”. Suaranya kian letih tak berdaya seakan
memaksakan diri untuk mengucapkanya padaku.
“Aku
tak mau kau bergurau dalam hal ini Rio.!!!”. Tegasku padanya, sambil aku mendongak
ke depan mukanya.
“Tidak,
aku tak bergurau Dima, dia benar-benar meningal !!!”.
Perlahan
genggamanku lesu, rio tertunduk, aku bungkam terpaku.
Seakan
air laut meluapi fikiranku, seakan langit runtuh menimpa, seakan senja hari ini
hanya polesan khayal yang baru saja aku
lukis. Semua remang, semua padam, hanya sunyi yang tertahan. Kini aku tak dapat
lagi menyatu dengan apa yang telah terjadi. Bersama bui harapan menghilang, lenyap entah dibagian samudra mana ia
mengadu.
Bersama senja ini keindahan rasa
terungkapkan
Bersama
senja ini kebahagiaan terhempaskan
Berlahan,
memudar seperti elok dan solek
Ah,
Keindahan senja
Dia
selalu bersabar diguyur oleh gelapnya
malam
Mengapa
aku tidak bersamanya?
Dan
waktu memang benar-benar menunjukkan yang sebenarnya”.
Au revoir Cantik! (*)
Comments