Skip to main content

Pesantren


 APASIH PESANTER ITU ...?

 

Pengertian Pesantren


Analisis mengenai pengertian pesantren, pengertian pesantren menurut tata bahasa indonesia berasal dari kata santri dengan awalan kata ‘pe’ dan akhiran ‘an’ yang berarti tempat tinggal santri atau tempat nyantri dalam bahasa jawa. Pernyataan Haidar P.D. mengutip dari Soegarda Poerbakawatja mengatakan pesantren berasal dari kata santri yaitu seorang pelajar agama Islam sehingga dengan demikian pesantren mempunyai pengertian tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam.
Terdapat pula yang mendefinisikan pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan Islam Indonesia yang berbasis sistem pendidikan “tradisional” untuk mendalami bidang ilmu-ilmu Islam dan mengamalkan ilmu tersebut sebagai pedoman hidup keseharian atau perilaku (2004: 26-27).
Definisi atau pengertian pesantren dalam kamus besar bahasa Indonesia di artikan sebagai “asrama tempat santri atau tempat murid (santri) belajar mengaji”. Sedangkan secara istilah pesantren adalah lembaga pendidikan Islam di mana para santri biasa tinggal di  pondok (asrama) dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum bertujuan untuk menguasai berbagai bidang dan cabang ilmu agama Islam secara detail serta mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat (Fenomena 2005: 72).
Pondok pesantren secara definitif tidak dapat di berikan batasan yang tegas melainkan ter-kandung fleksibilitas pengertian yang memenuhi ciri-ciri yang memberikan pengertian pondok pesantren. Jadi pondok pesantren belum ada pengertian yang lebih kongkrit karena masih meliputi beberapa unsur untuk dapat mengartikan makna “pondok pesantren” secara komprehensif.
Maka dengan demikian sesuai dengan arus dinamika zaman definisi serta persepsi terhadap pesantren menjadi berubah pula. Apabila pada tahap awal pesantren berlabel makna dan pengertian sebagai lembaga pendidikan tradisional tetapi saat sekarang pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional tidak lagi selamanya benar, karena pada pesantren tradisional zaman ini sudah diajarkan materi pendidikan umum dan modern sesuai perkembangan zaman.

 ____________________________

 Seiring perkembangan zaman ......


Karakteristik Pesantren Makin Pudar

“Lembaga pendidikan islam” itulah yang tergambar ketika disebut kata pesantren dan  ini memang sudah melekat dari pesantren. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab sejarah awal adanya pesantren memang untuk mengembangkan dakwah islam melalui pendidikan, tentunya pendidikan islam, mengingat untuk pertamakali yang hendak ditanamkan oleh para penyebar islam adalah penguatan keimanan dan keilmuan, yang tentunya ditempuh dengan mendirikan pesantren. Kita bisa melihat bagaimana Sunan Ampel bisa mendidik kader-kader penyebar Islam dengan mendirikan pedepokan di Ampel Denta. Syaikhona Khalil Bangkalan juga mendidik para santri—yang dikemudian hari menjadi ulama-ulama besar—di pesantren yang beliau dirikan. Maka tak heran dari pesantren lah lahir ulama-ulama terkemuka.
Tapi yang juga perlu diingat, ketika kita menilik sejarah, pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang mencetak para ulama atau cerdikcendekia.  Pesantren juga berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bahkan nilai perjuangan pesantren sangat besar. Misalnya kita bisa ambil contoh perjuangan KH. Hasyim Asy’ari dalam melawan pemerintah kolonial belanda. Perjuangan beliau melalui penanaman nilai-nilai nasionalisme pada bangsa Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari beberapa fatwa beliau yang terkait langsung dengan para penjajah. Di antaranya beliau pernah mengharamkan penggunaan celana, karena menjadi ciri khas kaum penjajah. Beliau juga pernah berfatwa haram berangkat haji menggunakan kapal-kapal belanda. Transfusi darah dari orang islam kepada tentara belanda yang sedang berperang melawan jepang juga diharamkan. Dan yang terakhir beliau mengeluarkan “Resolusi Jihad” ketika belanda mulai ada keinginan lagi menjajah Indonesia dengan masuk indonesia melalui Surabaya.
Bukan hanya melalui penguatan rasa nasionalisme pada bangsa, kalangan pesantren juga ada yang terlibat secara langsung dalam perjuangan kemerdekaan. Maka kita tidak heran mendengar para kiai langsung melakukan perlawanan pada penjajah. Misalnya KH. As’as Syamsul Arifin yang secara langsung melucuti senjata para penjajah di Garahan. Keterlibatan para kiai atau santri dalam perjuangan juga bisa terlihat secara langsung dalam pasukan Hizbullah atau Sabilillah yang dibentuk sebagai respon Resolusi Jihad. Dan akhirnya ikut secara langsung mengusir penjajah melalui pertempuran di Surabaya, yang kemudian hari tu disebut hari pahlawan. Maka tidak heran ketika Aji Hermawan, seorang pakar Manajemen dan SDM dari IPB mengatakan, “Tanpa keberadaan pesantren, saya kira Indonesia tidak akan merdeka”.
Di zaman modern ini, pesantren tidak perlu lagi menghadapi penjajah karena Indonesia sudah merdeka. Namun dengan demikian bukan lantas tugas pesantren menjadi ringan. Bahkan dibilang cukup berat, mengingat tantangan zaman makin berat. Laju perkembangan yang tidak pernah berhenti akan membuat pesantren ‘kelimpungan’ kalau tidak bisa mengontrol dengan baik. Dan akhirnya pesantren pun menghadapi keadaan yang cukup dilematis, apakah tetap dengan ciri khas awalnya, yakni sebagai pusat pendidikan Islam?, atau juga harus mengikuti laju perkembangan zaman yang kadang menuntut pesantren mengurangi ciri khasnya tersebut?.
Dalam menghadapi tantangan zaman ini lalu pesantren terdikotomi menjadi dua. Ada yang konsisten dengan gaya tradisionalnya dengan hanya mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Pelajarannya hanya berkutat dengan kitab-kitab kuning, tidak ada biologi, matematika, fisika, dan lain sebagainya. Ada juga yang lantas mengikuti gaya modern. Maka lalu kita bisa mendengar pesantren yang menamakan dirinya sebagai pesantren modern semisal Gontor. Ada juga yang tidak menyebutkan langsung sebagai pesantren modern tapi pendidikan yang diajarkan sudah tidak hanya pada keagamaan tapi juga ilmu-ilmu umum. Yang kemudian tersedia pendidikan umum di pesantren-pesantren dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi. Melalui gaya pesantren seperti lalu banyak alumnus pesantren yang berperan secara aktif dalam pemerintahan dan lain sebagainya, sebab mereka memiliki ijazah formal.
Tentu masing-masing dari pola tersebut mempunyai alasan masing-masing yang tentunya dianggap baik. Bagi yang tetap dengan gaya tradisional beralasan tidak ingin terkontaminasi dengan gaya-gaya modern yang bisa merusak. Mereka akan tetap teguh dengan pola pesantren sebagaimana asalnya, yakni memperjuangkan islam. Makanya mereka hanya mempelajari karya-karya para ulama terdahulu—yang biasa disebut kitab kuning—yang menurut mereka sudah dijamin keilmuan dan keshalehannya. Sedang karya ulama-ulama sekarang sudah dianggap sedikit melenceng dari garis, khususnya ketika berseberangan dengan apa yang disampaikan oleh ulama salaf. Alasan ini cukup bisa diterima, walaupun tentunya mempunyai nilai minus, yakni ketika dihadapkan pada perkembangan zaman yang sudah dikuasi oleh kapitalis
Sedangkan pesantren yang mengikuti pola modern beralasan bahwa perkembangan zaman tidak bisa dibiarkan begitu saja, berjalan liar tanpa ada kontrol. Untuk mengontrol, perlu keterlibatan secara langsung di dalamnya. Sehingga akhirnya butuh ilmu-ilmu umum, semisal ekonomi, manajemen, ilmu alam, dan lain sebagainya. Sebab kalau tidak mumpuni dalam berbagai ilmu tersebut maka alumnus pesantren akan terkucilkan ketika sudah berkecimpung di masyarakat, dan ini tidak boleh terjadi. Tapi terkadang ketika terlalu fokus atau diselingi ilmu umum, ilmu keagamaan makin sedikit tersingkirkan. Hal ini tidak bisa dipungkiri, sebab bisa dibuktikan dengan sedikitnya pesantren yang tetap kuat dalam pengembangan kitab kuning walalupun juga ada sekolah umumnya. Padahal kitab kuning merupakan salah satu ciri khas tersendiri yang tidak bisa ditemukan di lembaga pendidikan yang lain. Budaya-budaya dari luar yang masuk pesantren kadang juga tidak difilter dengan baik sehingga terkadang mengantarkan santri meniru budaya luar yang seharusnya tidak patut ditiru.
Tujuan dari dua pola pesantren tersebut tentunya baik, hanya saja yang perlu diatasi adalah minusnya. Sehingga mungkin yang perlu dilakukan dengan tetap menjaga karakteristik pesantren, tidak boleh luntur, yakni mengajarkan ilmu keislaman secara mendalam. Maka pembelajaran atau pengembangan kitab kuning tidak boleh luntur. Sebab hal ini termasuk keunikan yang hanya ada di pesantren. Pembelajaran semisal Qur’an juga tidak boleh diabaikan. Jangan sampai ada alumnus pesantren masih belum bisa baca Qur’an. Dan yang terakhir, akhlak yang menjadi ciri khas dari santri harus tetap dijaga. Jangan sampai akhlak alumnus pesantren sama atau bahkan lebih buruk dari yang bukan alumnus pesantren.
Ketika hal itu dilakukan, maka tidak perlu ragu lagi untuk mengimbangi perkembangan zaman dengan mendidik santri dengan ilmu-ilmu umum. Mengingat kebutuhan terhadap itu juga sangat penting. Hanya saja nilai keluhuran pesantren tetap harus dijaga. Kepatuhan yang tinggi pada Kiai atau guru tidak boleh luntur, sebab ini juga bagian dari karakter khusus pesantren.
Tentunya juga tidak perlu ragu menerima budaya dari luar asalkan masih selaras dengan nilai-nilai keislaman. Bukankah pesantren punya jargo “al-Muhafazhatu ala Qadimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadidi al-Ashlah”.  Hanya saja tentu butuh adanya filter budaya. Agar yang diterima adalah yang benar-benar ashlah. Dan dalam masalah ini kadang masih menimbulkan persoalan. Sebab kadang dengan mudah menolak budaya orang lain dan kadang dengan mudah menerimanya, bahkan sering tidak konsisten. Misalnya tradisi tepuk tangan. Ada yang tidak setuju dengan tradisi tersebut dengan alasan termasuk tradisi orang Yahudi. Sementara dipihak lain, mengikuti tradisi non muslim yang lain, seperti mengikuti tradisi proses wisuda yang upacaranya sama dengan apa yang dilakukan oleh non muslim, model pakaiannya pun sama. Berarti dalam hal ini sudah tidak ada konsistensi. Maka yang dibutuhkan ketika melakukan filter pada budaya lain bukan hanya memandang dari mana budaya itu muncul, akan tetapi memandang terhadap dampaknya. Selama tidak melanggar nilai-nilai islam maka bisa diterima.
Sebagai kata penutup; karakteristik pesantren berupa penanaman nilai-nilai keikhlasan, ketataatan, kepatuhan, kesopanan, kesederhanaan dan lain sebagainya tidak boleh dihilangkan. Harus terus dilestarikan sebagai keunggulan yang dimiliki pesantren. Tentunya juga dalam menjaga ciri khas pusat studi keislaman. Maka porsi kajian keislaman harus tetap besar, dengan terus mengembangkan kajian kitab kuning, baik dari kitab-kitab klasik atau kontemporer. Hal ini tidak lain untuk menyesuaikan dengan zaman. Di samping itu, pengembangan pada ilmu pengatahuan umum juga harus diberikan pada santri sebagai bekal menghadapi laju perkembangan zaman yang sangat cepat.

 ___________________

Gambaran saya ......

Pesantren Dulu, Sekarang, dan nanti



Ada hal penting yang perlu dikaji secara serius dari acara Silaturahmi Alim Ulama di Pondok Pesantren Edi Mancoro, Semarang, 11 Pebruari 2007 lalu. Yang terdengar dalam lesehan para ulama itu hanya sebatas saling tuding dan menyalahkan antara satu dengan yang lainnya. Menteri Agama Maftuh Basyuni, Gus Mus dan Habib Lutfi, juga yang lainnya hanya saling menjual gengsi masing-masing. Tidak ada yang memberi jawaban apa yang menjadi penyebab tidak maju dan bermutunya banyak pesantren akhir-akhir ini? Berikut adalah wacana yang dapat kami potret dari perjalanan pendidikan kami.
Kalau kita mau jujur dengan fakta yang ada di lapangan memang sistim dan mutu pendidikan di Pesantren-pesantren telah mengalami kemunduran yang drastis bila dibandingkan dengan pesantren tempo dulu. Kami yakin faktor internal sebagai penyebab utamanya.
Pesantren tempo dulu
Barangkali yang menjadi ciri khas posisi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam sekaligus sebagai benteng aqidah masyarakat dan diakui oleh sejarah kesuksesannya adalah keikhlasan kyai, ketekunan para santri dalam belajar dan riyadoh lahir dan batin, jauh dari persoalan subhat apalagi haram. Sementara yang lainnya mungkin tetap sama.
Keikhlasan kyai dalam mengajar dan membina santri tidak pernah dan tidak akan terbayarkan dengan harapan nilai materi dan duniawi. Keikhlasan yang total menjalankan perintah Allah mengajar dan mengajak masyarakat kepada Islam. Keikhlasan yang tak pernah terpotretkan dengan kepopuleran, mereka lebih memilih diam dalam surau dan kezuhudan yang sepi dan senyap dari gejolak politik dan gemerlap sosial dan duniawi yang kadang bisa merusak keikhlasan dan mengantarkan kepada riya dan sum’ah (kepopuleran). Walaupun sistim pengajian ala kadarnya, mengajar sambil mengantuk sehingga kitab setebal “alaihim” bisa hatam dalam waktu satu bulan, luar biasa itu. Tapi anehnya menjadi alim dan saleh seperti gurunya, mberkahi betul. Bandingkan dengan sekarang.
Dengan keikhlasannya pula beliau-beliau tidak pernah berpikir tentang gedung, sarana dan prasarana, SPP atau yang lainnya yang ada dalam hatinya bagaimana santrinya mau dan bisa belajar dengan baik sekalipun di atas bancik, hal itu tidak membuatnya malu atau gengsi, apalagi berpikir untuk membuat proposal seperti kyai zaman sekarang.
Keikhlasan, kealiman, istiqomah dan tawadu’ (rendah diri) dan ketelatenan sang kyai adalah modal utama yang dapat memproduk santri yang allamah dan berakhlak mulia sekaligus sebagai bendera kesuksesan pesantren dalam mencetak ulama, zu’ama dan fuqoha. Di samping itu ketekunan santri dalam belajar, menjauhi maksiat dan meninggalkan segala larangan dan kewira’ian orang tua dalam memberi nafkah kepada anaknya sangat dijunjung.
Dengan bermodalkan itu semua rata-rata santri dulu dari satu pesantren pulang ke kampung halaman langsung menjadi kyai atau minimal jadi ustad yang mumpuni dan diakui masyarakat, tanpa mengikuti pendidikan selanjutnya.
Sayangnya pesantren yang seperti itu (salaf produktif) kini jumlahnya sangat terbatas atau hanya sekitar 10% dari total 14.798 pesantren dengan jumlah santri 2.057-814 sesuai data departemen kesehatan ketika membagikan bantuan dana kesehatan Pondok pesantren pada tahun 2006. (NU.Online tanggal 8 september 2006). Lalu sisanya menurut hemat kami hampir berubah menjadi “rumah kos” santri yang diberi pengajian setelah cape belajar Matematika, IPA, IPS dan PPKN yang hukumnya berubah menjadi “fardu ‘ain” setelah sebelumnya “haram” hukumnya. Tapi kalau prakteknya sebaliknya mungkin lebih baik. Dan tradisi itu telah “dihalalkan” oleh kebanyakan kyai dengan dalih tuntutan zaman dan modernisasi pendidikan dan yang lebih parah lagi karena tuntutan untuk melanjutkan ke luar negeri? Terlalu rendah visi lembaga itu.
Di antara pesantren salaf yang masih mampu dan bertahan memegang peran para pendahulunya adalah Pesantren Lirboyo dan Ploso Kediri jawa Timur keduanya masih tetap diakui masyarakat sebagai lembaga yang berhasil mencetak ulama, fuqoha yang siap terjun ke masyarakat tanpa mengikuti pendidikan selanjutnya di luar Pesantren, berbeda dengan yang lain?


Pesantren sekarang
Tidak bisa dipungkiri akan posisi dan peran pesantren dalam membangun dan mengisi pembangunan Indonesia sampai detik ini dan murtadlah orang yang mengingkari kenyataan itu. Karena sejak dulu Kyai Pesantren, Ulama dan para santri juga kaum tarekat adalah ujung tombak dalam merebut dan mengisi kemerdekaan dari tangan penjajah. Seperti peran Kyai Soleh Darat melawan Belanda, Pemberontakan Tarekat Sadziliyah di Banten pada tahun 1888M yang dikenal dengan revolusi Petani dan para pendiri NU hampir semuannya terlibat dalam perang merebut dan mengisi kemerdekaan. Dan secara de facto bahwa Pesantren saat inilah adalah benteng moral dan aqidah masyarakat yang tak bisa tergantikan. Tapi sekarang semua pesantren kelihatannya tidak lagi mampu memberikan banyak harapan masyarakat dan orang tua dan wali santri, karena banyak pesantren yang sudah berubah menjadi lembaga pendidikan formal/negeri dan mengesampingkan formalitas pesantren yang sesungguhnya.
Ada beberapa hal yang menyebabkan menurunnya mutu Pesantren dan ada beberapa wacana dan indikasi yang kelihatannya sangat mendorong banyak Kyai melakukan reformasi pendidikan Pesantren dari salaf/tradisional ke semi modern atau modern yang terkadang kebablasan sehingga mengakibatkan tidak jelasnya sistim pendidikannya, ala kadarnya:
Pertama, wacana formalisasi Ijazah pesantren dengan dalih kondisi dan tuntutan zaman yang mengahruskan ijazah negeri bagi setiap sektor kemasyarakatan dan kenegaraan. Hal inilah yang kemudian mendorong para kyai rameh-rameh “gagah-gagahan” bangunan dan sistim pendidikan formal dengan segala formalitasnya untuk menarik santri baru yang terkadang menjerumuskannya kepada hal yang menghilangkan kewira’ian yang pernah dipegang teguh para pendahulunya. Hingga sampailah kepada lobi-lobi proposal dana bangunan yang sering terkesan monopoli dan dimenangkan oleh satu yayasan karena kuatnya lobi.
Kedua, banyak pesantren yang misi utamanya hanya memberikan kesempatan kepada lulusannya untuk bisa masuk ke perguruan tinggi negeri di dalam dan luar negeri. Ini jelas merupakan “pembodohan” masyarakat yang sistimatis. Karena itu satu bukti bahwa lembaga itu tidak mampu mendidik santrinya menjadi lulusan yang berkualitas. Pesantren model inilah yang sekarang laris manis.
Ketiga, perbedaan kekyaian yang dimiliki Kyai sekarang sangat jauh berbeda dengan kyai pesantren tempo dulu. Kalau dulu Kyai seneng puasa, riyadloh dan tirakat untuk diri dan santrinya, kini sifat-sifat tulus dan karomah seperti itu sangat jarang kita temukan. Justru yang menjadi wacana adalah kampanye partai, calon gubernur, bupati dan caleg serta perseteruan dan perebutan posisi di dalam dan luar Pesantren. Ini jelas-jelas merusak nilai lahir dan batin Pesantren yang mengakibatkan tidak “mberkahinya” kyai kepada santri. Walaupun itu adalah buah perputaran waktu tapi semuanya tetap memberikan dampak negative bagi pribadi dan Pesantren dalam penilaian masyarakat yang harus kita jaga.
Bahkan sekarang banyak kyai yang lupa dengan jadwal pengajiannya karena sibuk mengikuti kampanye, orasi caleg dan undangan pengajian. Sementara santri tetap setia di tempat belajarnya tanpa ada yang mulang (ngajar). Keterlibatan Kyai dalam gerakan politik dan sejenisnya telah mengahancurkan nilai, mutu dan citra pesantren. Itulah realitas banyak Pesantren saat ini berubah menjadi kos-kosan santri, bukan pondok ngaji. Bahkan ada seorang pengasuh Pesantren yang selalu “ngelencer” keluar negeri, tidak pernah mulang santrinya. Lho ko seperti tidak terima dikatakan Pesantrenya tidak bermutu, bagaimana bisa melahirkan ulama, kyai atau ustad yang mumpuni? Tapi ia bangga merasa menjadi Kiayi yang paling sibuk.
Pesantren model seperti ini banyak sekali bahkan hampir semuanya terutama Pesantren Kecil diantaranya yang paling parah mengalami perubahan seribu derajat adalah Pesantren Bahrul Ulum dan Darul Ulum Jombang Jawa Timur dan yang lainnya termasuk Tebuireng. Keduanya dalam masa pendirinya termasuk Pesantren yang berhasil mencetak ulama dan fuqoha Nasional, tapi kini tidak lagi. Karena kemunduran dan perubahan status bukan? Disamping peran Kyai yang “kurang telaten” ngopeni santri karena sibuk diluar sehingga tidak melahirkan karomah.
Belajar lagi
Benar pesantren adalah model pendidikan tertua di Indonesia bahkan di dunia. Tapi dalam ajaran ahlak pesantren diajarkan bahwa orang yang tua pun kalau tidak bisa harus belajar dari yang bisa walaupun dari yang lebih muda usianya. Untuk itulah ketertinggalan sistim pendidikan dan menejemen pesantren saat ini oleh lembaga lainnya perlu segera kita benahi dengan cara ikuti “ngesahi” dari pendidikan lainnya. Kalau ada yang mengatakan bahwa Pesantren saat ini tidak perlu belajar dari Muhammadiyah (seperti yang dikatakan oleh Menteri Agama) atau lainnya adalah merupakan sikap “takabbur” yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai Pesantren dan sikap seperti itu jelas merupakan satu bukti “kemunduran” kekyaian Pesantren itu sendiri.
Kami sangat setuju dengan pendapat Menteri Agama bahwa pola pendidikan keagamaan Pesantren, bukan silabinya, saat ini harus mau belajar dari Muahamadiyah dan yang lain yang sudah sukses membangun menejemen pendidikan yang dapat memluluskan sarjana yang berkualitas dan diakui masyarakat dalam ilmu-ilmu praktis. Kami sebagai warga Pesantren/NU yang lahir dan besar dalam keluarga NU belum bisa merasa bangga menjadi anggota NU sekalipun kami sangat bangga dengan NU, karena kami belum menemukan kemampuan orang-orang NU dalam membangun pendidikannya tingkat MI sekalipun apalagi universitas. Karena itulah, kami adalah pesantren/NU dalam beragama tapi Muhammadiyah dalam “madzhab” pendidikan dan pemikiran sosial dan pengembangan ekonomi masyarakat.
Untuk itulah kalau Pesantren yang modern atau semi modern jika ingin maju dan bermutu kita masih perlu belajar dari lembaga-lembaga lain yang telah terbukti kualitasnya karena kesuksesan menejemennya. Sementara yang salaf pertahankan kesalafannya karena sekarang sudah mulai ada kesetaraan ijazah pesantren dengan ijazah negeri seperti Pesantren Lirboyo dan Sidogiri. Kalau begitu kenapa mesti kita berganti baju?
Pesantren di Masa yang Akan Datang
Berangkat dari kenyataan dari ribuan Pesantren yang ada seperti kami sampaikan di atas jelas pesantren di masa yang akan datang dituntut berbenah, menata diri dalam mengahadapi persaingan bisnis pendidikan seperti yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah dan lainnya. Tapi perubahan dan pembenahan yang kami maksud hanya sebatas menejemen bukan corak apalagi berganti baju dari salafiyah ke mu’asyir (moderen) karena hal itu hanya akan menghancurkan nilai-nilai positif Pesantren seperti yang terjadi sekarang ini, lulusannya ora iso ngaji karena ngajinya setelah belajar PPKN. Berbeda kalau dibalik. Sehingga jangan heran kalau sekarang ketua dan pengurus NU tidak bisa paham kitab gundul.
Memenuhi kesetaraan ijazah atau membekali santri dengan ijazah negeri sangat diperlukan di masa yang akan datang tapi prakteknya tidak boleh kebablasan dengan memformalkan sekolah umumnya dan meninggalkan pendidikan formal pesantrennya. Dapat kita hitung dari sekian ribu Pesantren hanya berapa saja yang memiliki sekolah formal Pesantren dari Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah Pesantren sampai perguruan Tinggi, sangat sedikit sekali. Format seperti itu jelas akan menghilangkan hakekat dan nilai Pesantren yang telah dirintis dan bangun serta dilestarikan oleh para pendahulu kita.
Maka, idealnya pesantren ke depan harus bisa mengimbangi tuntutan zaman dengan mempertahankan tradisi dan nilai-nilai kesalafannya. Pertahankan pendidikan formal Pesantren khusus kitab kuning dari Ibtidaiyah sampai Aliyah sebagai KBM wajib santri dan mengimbanginya dengan pengajian tambahan, kegiatan extra seperti kursus computer, bahasa inggris, skill lainnya dan program paket A, B dan C untuk mendapatkan Ijazah formalnya atau dengan menjalin kerjasama dengan sekolah lain untuk mengikuti persamaan. Jika hal ini terjadi akan lahirlah ustad-ustad, ulama dan fuqoho yang mumpuni, bukan ustad televisi, tanpa harus mengikuti belajar ke luar negeri dan dalam negeri.
Ke depan pesantren tidak cukup dikendalikan dengan menejemen keikhlasan seorang Kyai seperti yang terjadi pada ulama dan Kyai tempo dulu. Kalau dulu hal itu memungkinkan karena keikhlasan itu telah mampu melahirkan energi ruhiah secara instan berupa kepahaman santri (laduni), manfaatnya ilmu, karomah dan sebagainya. Tapi sekarang telah berubah keadaan banyak sisi dan persoalan yang harus dimenej dengan profesional mulai dari uang SPP, bangunan, gaji, catering santri dan lain sebagainya. Dan hal yang seperti ini kurang diperhatikan oleh banyak Pesantren padahal itu modal utama pengembangan ekonomi Pesantren itulah yang kita lihat di Pesantren Sidogiri, akhirnya banyak pesantren hidupnya mengandalakn proposal.
Akhirnya kemauan untuk berubah, menata dengan belajar dari kesuksesan yang lain, tidak ekseklusif, dan memenuhi kebutuhan masyarakat dengan tetap mempertahankan tradisi salaf dengan berbagai aspeknya lahir dan batin adalah tuntutan yang harus dipenuhi oleh Pesantren jika tidak ingin ditinggalkan masyarakat karena dikatakan tertinggal. Dan kemampuan pesantren untuk berdiri sendiri dan mencetak santrinya menjadi ulama, fuqoha dan ustad yang siap terjun dimasyarakat adalah bukti keberhasilan pesantren itu bukan dengan diterimanya santri kuliah di luar negeri dan dalam negeri dan mengandalkan bantuan pihak lain. Wallahu a’lam.



Comments

Popular posts from this blog

HUKUM MEMPERINGATI PERAYAAN MAULID NABI SAW

Syi'iran Maulud Nabi Dari KH.M.Djamaluddin Ahmad (Jombang) HUKUM MEMPERINGATI PERAYAAN MAULID NABI SAW Peringatan ( kelahiran nabi ) yang lebih populer dengan ‘’ maulidan ’’ merupakan sebuah tradisi, sekaligus memiliki makna yang mendalam. Sejak dulu, kaum muslimin  telah melakukan peringatan mauled Nabi Saw. Sedangkan, orang yang  pertama kali melaksanakan ‘’Maulidan’’ adalah Rosulullah Saw. Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadis Imam Muslim. Namun, sebagian orang masih menganggab bahwa peringatan mauled Nabi Saw merupakan perbuatan bid’ah, dengan alasan bahwa Nabi Saw tidak pernah mengajarkan. Dalam sebuah hadis, Nabi Saw memiliki kebiasaan puasa sunnah senin dan kamis. Ternyata, puasa tersebut memiliki tujuan mulia bagi Nabi Saw, yaitu sebagai bentuk rasa syukur atas kelahirannya. Hal ini terungkap saat salah satu sahabat menanyakan kebiasaan Nabi Saw berpuasa pada hari senin. عن أبي قتادة ، أن أعرابيا قال : يا رسول الله ما تقول في صوم يوم الإثنين ؟ فقال : « ذاك يوم و...

Karakteristik Ajaran Islam

KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM MAKALAH Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Ilmu Pengantar Islam Dosen Pengampu: Moh. Dliya’ul Chaq. M. HI. Oleh: 1.       Muhammad Zulfi Fanani 2.       Hasbullah 3.       Muhammad Afwan Imamul Muttaqin 4.       Lugina M Ramdan 5.       Muhammad Irham Mabruri INSTITUT AGAMA ISLAM BANI FATTAH (IAIBAFA)  TAMBAKBERAS JOMBANG 2017 BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Setiap agama mempunyai karakteristik ajaran yang membedakan dari agama-agama lain. Agama yang didakwahkan secara sungguh-sungguh diharapkan dapat menyelematkan dunia yang terpecah-pecah dalam berbagai bagian-bagian. Perpecahan saling mengintai dan berbagai krisis yang belum diketahui bagaimana cara mengatasinya. Tidak mudah m...

'Mbeling'

Ba'da hataman ngaji kilatan. Ramadhan 1439H Mbeling (Bapak Muhammad Zulianto) Tidak selalu dunia-nya santri lurus dan tenang-tenang saja. Bahkan dibanyak waktu, kelokan tajam dan lubang jalan terjal nyantri kerap menguji. Ada saja masalahnya. Mulai ekonomi sampai "mbolos" ngaji. Dari belajar nakal sampai rambut dipetal. Dari nggandol makan di warung sampai nggandol truck di jalanan. Hingga terkena "candu" warung kopi sampai soal asmara antar asrama. Atau bahkan sampai tidak naik kelas. "Mbeling" adalah istilah yang memiliki banyak arti dan sudah membumi di kalangan santri. Apalagi bagi santri yang memang "mbeling". Rasanya memang tidak lengkap jika nyantri hanya melulu lurus mengaji, nderes, setoran dan wetonan. Sekali-kali harus (pernah) mbeling. Ibarat masakan, mbeling adalah bumbu penyedapnya. Dan penyedap tak perlu banyak-banyak. Asal takaranya terukur dan ada resep yang mengarahkan.             Gus Dur ...