Skip to main content

Posts

Showing posts from June, 2018

Kisah: Nama yang Sangar

Kilas Tulungagung-an  ๐Ÿค— ____________________ Sepak terjang kehidupan ini terbilang seru. Alih-alih jika faham betul bagaimana sela perbedaan. Bahasanya, gaya hidupnya, etikanya, dan tentu semua itu mempunyai maksud masing-masing. Sesuai dengan keadaan daerah setempat. Hehehe. Ngomong opo se? ๐Ÿ˜… Orangtua itu senang berkisah. Minimal tetang masalalunya. Bagaimana serunya hidup di zaman itu. Seperti apa ketaatan manusia-manusia masa itu. Hehehe Beliau bertutur tentang kesabaran kakek kami. Semangat berjuangnya menyatukan keluarga, mencerdaskan, bahkan memberikan yang  terbaik  untuk keluarga. "Mbah mu mbien ki mancal lo le. Tekan ngrendeng kono nganti tekan kene ki yo ngyontiel". Tuturnya dengan logat khas Tulungagungan Heheh ๐Ÿ˜ "Nggeh Mbaaah" Jawabku sekenanya. "Baiyuuuuh. Ancene zamane ki koyo ngene. Wong do nyekel hp nganti lali sembarange. Beeh jian!" Tutur beliau lagi dengan logat yang menjadi-jadi ๐Ÿ˜… # Disatu kesempatan, ka

Kisah Masa Kecil (1)

Malang - Blitar - Tulungagung. Selalu mampu memberi kesan hangat. Sejak puluhan tahun silam, mengerak, bahkan menyatu sudah kenangan itu disepanjang jalan. Terlebih ada kawan. Hehehe.  Sepanjang lajur Malang-Blitar-Tulungagung, membuatku ingat sama kalian   ๐Ÿ˜ # Aku pengen crito titik,  ๐Ÿ˜š Dulu, waktu aku seusia adek, Malang-Tulungagung naik 'vespa' sama ayah-mama. Tentu aku acuh tak acuh. Ndak paham apa itu lelah, masih belum kenal kata aduh!   ๐Ÿ˜ถ Bisanya cuma nangis. kalau haus nangis, kalau lelah nangis, kalau muntah nangis juga bahkan sampek mberok-mberok. ๐Ÿ˜ฃ Bayangkan gimana lelahnya. Malang-Tulungagung naik 'vespa'. Pantang panas-dingin-hujan. Aku juga ndak tau apa itu dingin, panas, hujan. Siapa lagi yang paling peduli pada anaknya? Ya, orang tua. Aku juga lahir disini, Tulungagung. Tumbuh bersama apa-apa yang melekat pada kota ini. 'Disape' juga. Waktu seumuran samian, aku nuangis ditinggal ayah-ibu pulang. Mberok sejad

Kisah: Same Feel

Iki kisah langka. Tentang bagaimana serunya mengadu resah. Juga sulitnya menjaga niat. BAGIAN 1 Entah mimpi apa malam itu. Heheh  Mendapat kesempatan bisa mbarengi belajar Faroidh adalah anugrah terindah. Indah, jika kita siap melalukannya. Berarti juga siap menghadapi segala kemungkinan yang belum sempat kita fikirkan sebelumnya. Berawal dari keinginan belajar Faroidh. Sedari awal nyantri, belum sekalipun ilmu faroidh ku pelajari. Sekedar membolak-balikkan lembaran kitabnyapun membuat pening kepala. Sampai pada suatu saat. Tepatnya beberapa bulan lalu, Pak "M" memberi tawaran belajar bareng. "Samian mau belajar Fafoidh a?" "Hehehe. Asline kepuingin Pak. Sejak kulo mondok, sampek sekarang belum perah belajar itu" "Ikut aku ae, belajar bareng. Nanti samian dapat kitab gratis. Gimana?" "Wuhh. Mantap niku Pak. Kapan?". Spontan hatiku mantap pingin ikutan. "Belajarnya malam hari. Tapi ada sya

'Mbeling'

Ba'da hataman ngaji kilatan. Ramadhan 1439H Mbeling (Bapak Muhammad Zulianto) Tidak selalu dunia-nya santri lurus dan tenang-tenang saja. Bahkan dibanyak waktu, kelokan tajam dan lubang jalan terjal nyantri kerap menguji. Ada saja masalahnya. Mulai ekonomi sampai "mbolos" ngaji. Dari belajar nakal sampai rambut dipetal. Dari nggandol makan di warung sampai nggandol truck di jalanan. Hingga terkena "candu" warung kopi sampai soal asmara antar asrama. Atau bahkan sampai tidak naik kelas. "Mbeling" adalah istilah yang memiliki banyak arti dan sudah membumi di kalangan santri. Apalagi bagi santri yang memang "mbeling". Rasanya memang tidak lengkap jika nyantri hanya melulu lurus mengaji, nderes, setoran dan wetonan. Sekali-kali harus (pernah) mbeling. Ibarat masakan, mbeling adalah bumbu penyedapnya. Dan penyedap tak perlu banyak-banyak. Asal takaranya terukur dan ada resep yang mengarahkan.             Gus Dur ketika mon

Selamat Hari kamis (3): Obrolan Yang Terhela

Selamat Hari Kamis (3) 'Mulih-Muliho' ๐Ÿ˜… ____________________ Hari kamis selalu memberi nuansa spesial. Terlebih saat liburan seperti ini. Hari-hari jadi indah, layaknya burung lepas dari sangkarnya, terbang bebas meskipun lupa belum makan, ๐Ÿ˜ Ups. hehe Baru beberapa hari liburan, sudah banyak foto bertebaran. Entah yang safarian, bepergian, muncak juga ada. Eh, bahkan ada foto saya yang aduuuh, barengan sama adek-adek terbaik di kelas IX  fh . Hehe ๐Ÿ˜… "Kaget wan?"  Nggak! itu sudah lumrah ya... Yang namanya orang seneng kan ya ndak mesti. Bentuk  pengekspresiannya itulo macem-macem. Hemat saya, yang penting satu, Ojo sampek ndadeko wirang pondok . Itu yang seriiiiing kali di pesankan Yai untuk kita. Yakan? ๐Ÿ˜™ Hehehe. ๐Ÿ˜ "Eh, Kang. Lha samian seminggu liburan iki lapo ae?". Tanyaku pada kang santri pilihan. "Hehehe, emm. Anu. Eeem" "Huaah! ๐Ÿ˜†Kok malah manyuuun๐Ÿ˜" Gertakku setelah mendapatinya  linglung

Karena Santri Itu Satu, MANUT

“Siapa sih yang pengen ilmunya nggak manfaat?” ๐Ÿ˜ถ ๐Ÿ˜ถ ๐Ÿ˜ถ ๐Ÿ˜‘ __________________________ _________________ Sarasehan malam itu layaknya membuat kita sedikit sumringah. Kepenatan pandang antara “kita” dengan “kita” menjadi sedikit longgar.  ๐Ÿ˜Š Serasa lebih akrab dari biasanya. Meski yang dibahas adalah hal-hal berbobot, agaknya tersingkap dengan kesederhanaan yang akrab, membuat kita mudah menangkap.  Memang benar, semua santri pasti hafal dengan rukun santri. Karena memang hanya ada tiga point. Tapi jangan salah, tiga hal itu merupakan pokok, suatu keharusan yang musti kita penuhi dengan usaha kuat. Layaknya sholat. Kalau salah satu rukun tidak terpenuhi, maka status shalatnya adalah batal. Selaras dengan itu, kalau salah satu dari rukun santri lalai kita penuhi, maka status kesantrian kita perlu di pertanyakan lagi. Berat? Memang! Usaha? Harus! Eh. Sebelum saya akhiri, mari kita bersama menumbuhkan kesadaran. Sadar akan kesantrian kita. Sadar bahwa santri itu yang penting “MAN

Kisah: Santri Imam Malik

Santri Imam Malik *Muhammad Zulianto, S. Sy Diantara kunci memperoleh ilmu manfaat bagi santri adalah keyakinan terhadap guru. Tapi terkadang ada saja santri yang punya persepsi bahwa Kiai A atau Kiai B sudah tidak ada barakahnya. Padahal sebenarnya kunci dari keberkahan ilmu adalah dari keikhlasan seorang santri dalam berkhidmad kepada Kiai (masa ketika ia belajar). Maka dalam hal mengabdi ada istilah "kesetnya santri". Tentang keyakinan yang wajib dimiliki oleh santri kapda kiainya, ada sebuah bait di dalam Kitab Imrithi (bisa diplesetkan dengan dibaca "Umaryoto" kalau dibaca dalam Arab Pego) yang berbunyi : ุฅุฐุง ุงู„ูุชู‰ ุญุณุจ ุงุนุชู‚ุงุฏู‡ ุฑูุน # ูˆูƒู„ ู…ู† ู„ู… ูŠุนุชู‚ุฏ ู„ู… ูŠู†ุชูุน Artinya, Pemuda (santri) diangkat derajatnya berdasar kadar keyakinannya. Barangsiapa tidak memiliki keyakinan terhadap sesuatu, maka tidak bisa mengambil manfaatnya. Ada cerita tentang salah satu santri dari Imam Malik yang sedang menghafal Quran. Santri tersebut adalah santri &