Skip to main content

CERPEN: 'Nostalgia Koko Putih'


By @affa_esens  |  In Freme Rizqy Gymnastiar
Sebenernya yang punya wajah ndak mau foto ini di Upload, wedi di arani wali jare. Heheh


Nostalgia Koko Putih
(Affa Esens Okt’ 16)
  (Spesial For National Santri’s Day)


“Ayah Ayah… aku mau baju itu..!!”. Pinta Naufal sambil mengarahkan tangan mungilnya keluar kaca mobil, menunjuk deretan baju khas lebaran yang beraneka warna. Kesukaan anak-anak. 

“Sama Ibu ya Nak….”. tuturku sambil mengusap kepalanya. istriku tersenyum, tanda meng-iyakan.

Bocah berumur empat tahun yang duduk bersama ibunya itu bersorak ria “HOREEE HOREEE!!”. Dinda segera membuka pintu mobil merah darah kesayanganku. Hingga akhirnya mereka berdua melangkah menuju toko baju “BAROKAH”. Kios baju itu jaraknya hanya beberapa langkah dari kami.

             Kulihat anak dan istriku memadukan bahasa tubuhnya, membuatku tersenyum sendiri. Beberapa saat kemudian, seseorang datang menghampiri mereka yang sibuk mengorek-orek baju. Lelaki berbaju muslim modis biru dongker itu seperti sudah familiar.

Badan yang tegap, raut wajah yang kalem. Ah, aku tertegun. Dengan melihat orang itu ditambah dengan baju koko seukuran Naufal yang ia perlihatkan pada istriku membuat memori yang terlampau 18 tahun itu kembali terbuka. Retrospeksi, menghayati kembali kebelakang.  Aku tersenyum tipis. “Kang Maman”.

# # # #

“BERDIRI!!!”
“Tttt… Tapi Kang”
“Berdiri!!”. Bentak penjaga jama’ah sambil menarik-narik lengan bajuku. Aku mengelak.
“Tapi kang, saya….”.

PLAKKK!!! Belum selesai aku bicara, tangan besi itu menancap tepat dipipiku. Aku mendengus kesal.

“BERDIRRI!!”. Bentaknya lagi.

Kemudian aku berdiri dengan tangan menyentuh pipi. Sakit.

Ah. Betapapun aku tak tau namanya, yang pasti aku sangat marah, mangkel. Bagaimana tidak? Tanpa pertimbangan aku disuruh berdiri di hadapan seluruh santri. Apalagi maghrib-maghrib begini, masjidnya full. Ah, dasar.

“KEDEPAN!! CEPATT!!”. Tambah lelaki berpeci putih itu.

            Dengan berat hati aku melangkah gontai menuju shof paling wahid. Sesekali ejekan terdengar dari teman temanku. Aku tak peduli. Saat wiridan yaumiyah usai, komplit semua santri menatap ku tajam.  Muka jelek mereka sangat jelas terlihat. Ditambah deru suara mereka. “Huuuuuu”
“Huuuuu Huuu” “Huuuuuuuuuuuuuuuu”

Sudah kuduga, suara itu akan kudengar. Suasana menjadi gaduh.

“Ini masjid Kang! semuanya saja diharap tenang”. Ungkap Pak Huda, lurah pondok yang terjadwal ngimami jamaah setiap maghrib itu lantas berdiri. Menghadap seluruh santri. Sekejap menjadi hening, tanpa bicara. Hanya lantunan rintikan hujan yang beberapa saat lalu menderu. Aku menghela nafas dalam-dalam..

“Ini hanya sebagai pelajaran buat kita semua. Biar kita bisa tafakkur betapa pentingnya mentaati peraturan”. Tutur beliau. Aku menelan ludah.

Peraturan? Peraturan apa?
Sementara lurah pondok terus berkata, aku hanya diam. Merundukkan kepala. Dan, sorakan makin merajalela.

# # # #

Rupa-rupanya Naufal senang menerima tawaran baju itu. Tapi Istriku masih saja terlihat bertele-tele menunjuki pakaian, mencari model lain. Maklumlah, ibu-ibu. Kang maman seperti tak punya lelah, tetap saja memberikan tawaran produk terbaiknya.

Tiba-tiba Hp ku berdering, ada gambar masuk via Wats app dari Dinda, istriku. Terlihat gambar baju beraneka ragam dengan pesan tambahan; Mas, baju yang bagus buat Naufal mana ya?. Aku tersenyum. Memperbaiki posisi duduk. Terserah samian saja. Sepertinya warna putih jauh lebih bagus, balasku.

Kulihat Dinda dari dalam mobil, ia mengangguk-angguk sambil tersenyum. Bersama lambaian angin yang sibuk merayapi pakaian yang tertata rapi di langit-langit ruko itu. Juga gaun biru yang Dinda pakai, menggelayut amboi indahnya. Membuat senyumnya semakin merona sempurna. Anggunnya Dinda-ku. Tak lama kemudian, Kang Maman menyodorkan Baju koko putih yang ia ambil dari dalam etalase belakang Naufal.

# # # #

            Selepas itu, saat para santri sudah bubar, hanya tinggal beberapa saja yang masih duduk bersila menghadap qiblat sambil menggerak-gerakkan bibirnya, Si penjaga Jama’ah mendekatiku. Di bajunya putih garis-garis hitam yang ia kenakan tertera nama, “Maman Suratpradja”. Aku menenggelamkan kepalaku. Dasar, Maman!! Celetukku dalam hati.

“Siapa namamu?”. Tanyanya dengan tangan tersingkap kebelakang.

“Saya Hasib Nur Alim Kang”. Jawabku.

 Aku masih merundukkan kepala. Dan yang pasti, aku tak tau seperti apa gurat wajahnya saat ini. Entah seperti saat ia membentakku tadi? Atau lebih dari itu? Aku tak tau.

“Kenapa samian nggak taat peraturan? teman-teman samian segitu banyaknya ituloh nggak ada yang melanggar”. Ungkapnya. Aku sedikit mendongakkan kepala.

“Peraturan yang mana Kang, perasaan aku tadi ndak rame kan?”. Jawabku dengan nada merendah.

“Ini, baju mu!? samian pakek hem kan? Nggak punya baju muslim?”. Ungkapnya sambil memegangi lengan hem abu-abu yang aku kenakan.


Aku hanya diam. Bungkam, bak tak punya suara. Kembali kurundukkan kepala.

Beberapa lama kemudian, tamparan keras menghantam pipiku lagi. PLAKKK!

Aku semakin geram. Tapi entah, geramku kali ini memancing air mata. Kutahan agar tak keluar. Ah, sesak sekali dada ini. Aku semakin merunduk. Terus tenggelam. Hingga spontan tanganku meraih butiran itu. Sempurna air mataku meleleh.

“malah nangis? Kenapa? Bajunya hilang? Atau nggak punya? Heh! Jawaben!”. Bentaknya sambil memegangi pundakku, menggoyang-goyangkannya. Aku menghela nafas dalam-dalam.

“Saya memang ndak punya Kang”. Jawabku sesenggukan.

“Ndak punya? Ya  minta orang tua to leee… le!”.

Ah, entah kenapa jawaban Kang Maman kali ini makin membuatku menghela nafas berkali-kali lagi. Menyesakkan dada melunturkan air mata. Aku merayap menuruni tembok yang ku sandari. Duduk termangu berusaha menghaluskan desiran nafas.

 Siratan cahaya lampu yang menerangi seisi masjid bercat putih ini terasa menggerahkan. Beberapa kitab yang tertata rapih dipojok belakang sepertinya turut menyaksikan. Juga beberapa santri yang celingukan dari pagar samping dan depan masjid. Ah, aku kembali merunduk. Berusaha membendung air mata.

“Omahmu ngendi to le?”. Tanya Kang Maman setelah sebelumnya nggremeng.

Aku menyeka air mata, “Kediri Kang”.

“Kediri Mana?”. Sahutnya dengan nada rendah. Lalu duduk disampingku.

“Semen Kang”.

“Emmmmh,” Sambil mengangguk-angguk ia melanjutkan pertanyaannya.

“Kenapa kamu kok malah nangis?”. Tanyanya. Aku hanya diam.

“Nanti telfon orang tuanya, bilang kalau belum punya baju muslim”. Tuturnya. Aku menghela nafas untuk yang kesekian kalinya.

“Orang tua saya ndak ada Kang”. Ungkapku. Kang Maman sedikit tersentak, menelan ludah. Lantas diam beberapa saat. Aku menghela nafas lagi, memperbaiki posisi duduk.

“Sebentar”. Ucapnya, lantas pergi menuju sebuah kamar yang terletak disebelah kanan Masjid. Aku kembali merunduk, menekukkan kedua lutut, merangkulnya dengan kedua tangan dan menyandarkan kepalaku diatasnya.

Entah kenapa aku ini. Tiba-tiba teringat kedua orang tuaku yang sudah meninggal saat aku masih kecil. Ah, untungnya nenek sangat sayang padaku. Untungnya juga nenek mengirimku kesini, pondok pesantren. Setidaknya membuatku semakin bisa memanfaatkan hidup ini, memberikan yang terbaik untuk almarhum kedua orang tuaku. Memberi mereka mahkota terindah kelak disurga.

“Ini le…. Aku punya baju buat samian. Meski ndak banyak semoga saja bermanfaat”. Ungkap Kang Maman sambil menyodorkan dua buah baju muslim putih yang terlipat rapi kepadaku.

Aku mengangkat kepala, menatapnya, lantas meraihnya. Kudapati raut wajahnya yang sembab. Lelaki bersarung merah tua itu kembali duduk disebelahku. Diantara lentera penerang masjid yang tertata begitu indah. Bersandarkan tiang penyangga masjid yang menjulang menapaki langit-langitnya. Kang Maman perlahan meraih pundakku, menyandarkanku pada bahunya.

Sebenarnya aku sedikit risih. Tapi entah, aku merasakan ketenangan. Degup jantungku yang sebelumnya berantahkan lamat-lamat mulai beraturan. Seakan percakapan singkat kami tak ubahnya tali perekat, merekatkan kedua sisi yang sebelumnya berjarak. Benar dawuh Mbah Yai pada pengajian ba’da subuh tadi ”Ojo alok mundak melok, Ojo gething mundak nyanding”.

“Aku minta maaf soal tadi Le…”. Tutur lelaki dengan suara berat itu. Aku hanya diam.
“Ya sudah, samian kembali ke kamar, sebentar lagi kegiatan dimulai..”.

Aku bangkit, begitupun Kang Maman. Dengan membawa busana pemberiannya aku kembali dengan sedikit senyuman, hati yang lega. Tapi keesokan harinya, batang hidung mancung pria itu tak terlihat lagi. Pun saat jamaah berlangsung, tak terlihat menjaga. Begitu pula dengan hari-hari selanjutnya. Nihil.

            Entahlah. Setidaknya untuk hari-hari berikutnya kejadian seperti ini tak akan terulang lagi. Ah, aku belum mengucapkan terimakasih padanya. Aku menghela nafas daalam-dalam. Sambil duduk termangu menapaki lantai masjid dan menatap tatanan lentera indah, aku terpejam dan berkata lirih; “Terimakasih Kang Maman”.

# # # #

“Mas… Mas”. Suuara dan goyangan tangan istriku membuatku tersentak.

“Mas kecapek’an ya? Nanti kalau sampai rumah istirahat ya.. Mau dibuatkan makan apa?”. Ungkap istriku sambil memasukkan beberapa bungkusan dibagian tengah mobil.

“Terserah samian saja.. Gimana Naufal?”. Ucapku sambil mencari-cari keberadaan anak kebanggaanku itu.

“Ayaaaahhh!!!!”. Lagi-lagi aku tersentak. Anak hiperaktif yang berada tepat dibelakangku itu mengagetkanku. Aku terkekeh. Meraihnya, lantas memeluknya erat-erat.

“Aaaaaaa, Ibu…. Ayah ini lo Bu…..  Aaaaaaa….”. Aku makin terkekeh melihat tingkah lucunya. Lantas ku kecup pipinya. Ia terperanjat. Berpindah kekursi sebelah sambil merapikan koko putih baru yang ia kenakan.

“Bajuku rusak lo Yah….”. ungkapnya dengan raut mengkerut mungilnya. Istriku tersenyum sendiri dibelakangku. Mulai geli dengan situasi seperti ini.

“Dek, bilang apa sama Ayah…?”. Tutur istriku yang sudah duduk manis. Naufal tersenyum menatapnya. Aku seolah-olah tak tau, tetap saja mengarahkan pandangan kedepan sambil mengemudi mobil menuju ke rumah.

“Ayo, adek bilang apa sama Ayah…”. Ungkap istriku lagi. Aku tersenyum sendiri. Naufal menoleh. Tersenyum. Lantas berkata.

“Terimakasih Ayah….”. Ucapnya dengan nada kekanakannya. Aku menoleh sebentar. Masih focus menyetir.

“Sama-sama. Adek belajar yang rajin ya”. Tuturku sambil mengusapi rambutnya. Ku hela nafas dalam-dalam.  

Nostalgia koko putih.

Comments

Popular posts from this blog

HUKUM MEMPERINGATI PERAYAAN MAULID NABI SAW

Syi'iran Maulud Nabi Dari KH.M.Djamaluddin Ahmad (Jombang) HUKUM MEMPERINGATI PERAYAAN MAULID NABI SAW Peringatan ( kelahiran nabi ) yang lebih populer dengan ‘’ maulidan ’’ merupakan sebuah tradisi, sekaligus memiliki makna yang mendalam. Sejak dulu, kaum muslimin  telah melakukan peringatan mauled Nabi Saw. Sedangkan, orang yang  pertama kali melaksanakan ‘’Maulidan’’ adalah Rosulullah Saw. Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadis Imam Muslim. Namun, sebagian orang masih menganggab bahwa peringatan mauled Nabi Saw merupakan perbuatan bid’ah, dengan alasan bahwa Nabi Saw tidak pernah mengajarkan. Dalam sebuah hadis, Nabi Saw memiliki kebiasaan puasa sunnah senin dan kamis. Ternyata, puasa tersebut memiliki tujuan mulia bagi Nabi Saw, yaitu sebagai bentuk rasa syukur atas kelahirannya. Hal ini terungkap saat salah satu sahabat menanyakan kebiasaan Nabi Saw berpuasa pada hari senin. عن أبي قتادة ، أن أعرابيا قال : يا رسول الله ما تقول في صوم يوم الإثنين ؟ فقال : « ذاك يوم ولدت ف

Karakteristik Ajaran Islam

KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM MAKALAH Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Ilmu Pengantar Islam Dosen Pengampu: Moh. Dliya’ul Chaq. M. HI. Oleh: 1.       Muhammad Zulfi Fanani 2.       Hasbullah 3.       Muhammad Afwan Imamul Muttaqin 4.       Lugina M Ramdan 5.       Muhammad Irham Mabruri INSTITUT AGAMA ISLAM BANI FATTAH (IAIBAFA)  TAMBAKBERAS JOMBANG 2017 BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Setiap agama mempunyai karakteristik ajaran yang membedakan dari agama-agama lain. Agama yang didakwahkan secara sungguh-sungguh diharapkan dapat menyelematkan dunia yang terpecah-pecah dalam berbagai bagian-bagian. Perpecahan saling mengintai dan berbagai krisis yang belum diketahui bagaimana cara mengatasinya. Tidak mudah membahas karakteristik ajaran islam, karena ruanglingkupnya sangat luas, mencakup berbagai aspek kehidupan umat islam. Untuk mengkaji secara rinc

Siapa yang Pantas di Salahkan? (Perspektif santri koar)

Pertanyaan lama yang berbunyi “ Siapakah yang pantas disalahkan?” tak lagi berlaku untuk saat ini. Kendati memang ini masalah yang amat berbobot, maka kita harus benar-benar menelaah dengan mata terang. Sejalan dengan negara ini. Birokrasi yang berjalan lunglai, tentu akan menghambat, bahkan menggagalkan tujuan birokrasi tersebut. Ailh-alih terdapat impunitas yang menjadi-jadi. Secara kasat mata, belakangan ini banyak sekali pelaku meling. Mengedepankan urusan pribadinya dan menterlantarkan anak-anak sistim yang diabdinya. Meling! Kekhawatiran mengenai perihal ini tentu saj a berpotensi menjadi leluri. Berakar dalam dan tumbuh besar sehingga sangat sulit dinetralkan. Sebenarnya ini bukan bicara soal sitim yang melulu menjadikan kita bahan percobaan. Tapi lebih mengarah pada birokrasinya yang bobrok! Bagaimana bisa??   Ambil contoh soal rapat terakhir bulan dua, dari 100 yang diundang hanya datang 40 bahkan 30%. Nahas bukan?! Tujuan diadakan rapat tentu mengefaluasi dan me